Dulu Pembantu, Sekarang Pekerja Seks

Kunjungan ke Lokalisasi dalam Pelatihan Jurnalistik KPA Bali,

Baju ketatnya terbuka sedikit memperlihatkan sebidang kulit mulus di dalamnya. Rambut hitamnya tergerai di bahu, membingkai wajah lugunya. Sesekali ia tersenyum kecil.  Tubuhnya tidak sintal, namun masih bertahan melayani pelanggan.

tubuh, salah satu hal yang dijajakan pekerja seks
tubuh, salah satu hal yang dijajakan pekerja seks

“Dulu saya kerja sebagai pembantu. Sekarang sudah 3 tahun jadi PS (pekerja seks),” ujar Ana- salah seorang PS lokalisasi Carik Gatsu di tengah- tengah pertanyaan para peserta pelatihan pers kampus yang diadakan KPA Bali Minggu (5/7) kemarin.  Iapun menuturkan keterpaksaannya menjadi pekerja seks. Awalnya ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun lama- kelamaan, kebutuhan ekonominya dan keluarga semakin bertambah. Maka ia mengambil keputusan untuk menjadi pekerja seks. Bermula dari ajakan seorang teman untuk hijrah ke Bali dan mengatakan peluang pekerja seks sangat besar.
Hal serupa disampaikan oleh Wayan Sari, salah satu bos lokalisasi Carik. Pekerja- pekerja seks di sana memang sebagian besar karena masalah ekonomi. Sejauh ini sudah beberapa pekerja seks menetap lama karena ekonomi mereka perlahan terobati.  Namun syukurnya,  lokalisasi Carik mendapatkan bantuan Rumah Singgah dari yayasan Kerti Praja. Bantuan tersebut  sangat membantu kehidupan PS terutama dalam urusan kesehatan seksual.
“Lokalisasi memang tidak dilegalkan, namun mau gimana lagi? Daripada mereka tidak terdata? Sampai saat ini saja udah 35 orang tercatat HIV/AIDS di sini,” ungkap Mercya- KPA Bali menanggapi pertanyaan peserta perihal legalitas lokalisasi. Ia memaparkan kelebihan yang didapatkan dengan kerjasama antar bos lokalisasi. Mereka bisa mendata berapa PS yang terjangkit HIV ataupun penyakit menular lainnya. Selain untuk pendataan, hal ini sangat berguna dalam memberikan pengertian nge’seks’ aman. Tujuan pendataan tak bukan agar KPA bisa memantau berapa banyak PS yang terjangkit.
Selain pendataan dan pengertian nge’seks’ aman, KPA juga berusaha agar tramtib bisa bekerja sama. Menurut penuturan Wayan Sari, tramtib- tramtib dulu biasanya main tangkap saja. Jika sudah begitu biasanya para PS akan pergi menyebar kemana- mana. Hal itu merepotkan KPA dalam pendataan PS terutama yang terjangkit virus- virus penyakit menular seksual. Oleh karena itulah kerjasama antar Bos lokalisasi dan Tramtib sangat memabntu KPA.
Pelatihan jurnalistik yang berlangsung akhir pekan lalu memang diharapkan membuat para peserta dapat membuka mata terhadap persoalan pelik seputar HIV/AIDS.  Hal itu sudah dibuktikan peserta dengan kunjungan langsung ke lokalisasi. Banyak peserta mengaku terkejut dan kaget karena baru pertama datang dan mengenal tempat seperti ini.  Sebut Saja Ayu yang mengutarakan ketakjubannya saat Ana menjawab pertanyaan tentang umur para pelanggannya.
“Paling tua 45 tahun, pernah juga saya dapet anak SMP,” ujar Ana sambil tersenyum. Wanita beranak satu inipun mengaku tidak hanya sekali ia mendapat pelanggan anak SMP melainkan beberapa kali. Bahkan ada yang sampai 2x kesini orang yang sama. Anapun menuturkan keheranannya mengapa anak SMP sampai datang ke tempat ini. “Yah kadang kasihan juga, mereka minta uang sama orang tua untuk ke tempat kayak gini.Tapi mereka mau nyewek, gimana lagi? Layani aja,” tukasnya sambil tertawa kecil. (pw)

4 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *