‘Ck, menulis dong,’ ujar Gde Aryantha Soethama pada saya dalam peluncuran kumpulan essainya yang bertajuk ‘Jangan Mati di Bali’. Ujaran dengan nada bercanda tapi serius ini sudah ratusan kali saya dengar sebenarnya. Tiap bertemu, tiap diskusi bahkan tiap bersalaman. Dan tiap kali ujaran itu terucap, deg… hati saya ngilu seperti diiris pisau lalu ditetesi jeruk nipis, cesss….
Nah hebohnya tidak hanya pak Aryantha yang suka mengetok kepala saya dengan gada, kak Ananta pun sering melakukannya. Kalau ada kasta dalam jenis-jenis kompor dalam hidup, mereka berdua benar-benar berada di tingkat teratas dengan karakternya masing-masing.
Dengan hantaman-hantaman semacam sindiran dan letupan kompor yang sering saya alami, muncullah pertanyaan dalam kepala, Mengapa belum menulis?
Pertanyaan ini muncul setiap saat setiap waktu. Niat hati ingin menulis, eh kemalasan selalu menghampiri. Memang namanya niat kalo cuma disimpan simpan dalam kantong apalagi dalam hati ya cepet banget menguap. Ini saya alami hampir setiap saat. Masalahnya? Apa lagi kalo bukan menunda. Jadi inget lagunya Nosstress, tunda, tunda tunda hingga kau menuua dan tunggu-tunggu tunggu duluuuu. Sayangnya saya tidak mau menunda, tapi belum juga mulai menulis. Jadi maunya apa siiih???
Mari kita telaah lebih lanjut kawan-kawan yang berbahagia! Biasanya ide itu sudah ada, namun oh namun seperti yang disebutkan di atas, malas itu ada di setiap sela jari dan ujung jempol. Belum lagi yang bercokol dalam pikiran hingga ucapan ‘ah sudah sekalimat ini, bolehlah mengaso sebentar’ nah sebentarnya itu bisa seminggu sodara-sodari. Bayangin, jadi cuma sekalimat, eh mengasonya seminggu, apa gak ngesot tuh?
Ketidakproduktifan ini jelas harus dibasmi. Ketokan gada dan sindiran halus hingga bakaran kompor seperti yang saya alami sedikit banyak membakar ingatan akan hobi saya yang sempat terbengkalai, menghantam kemaluan saya, melangkahi kepala saya, menjentikkan kembali semangat saya dan membuat saya bertekad untuk menulis. Menulis lebih banyak lagi, menulis lebih sering lagi, menulis lebih getol lagi. Langkah awal tentu : menulis, langkah kedua dan seterusnya? Menulis lebih banyak lagi.
Karena dalam setiap tulisan seharusnya ada ajakan, maka saya mengajak kawan-kawan untuk mulailah menulis dan lepaskan semua penundaan serta kemalasan di bahu itu. Karena ternyata saya menyadari dengan agak deg-degan bahwa kemalasan itu tak akan membawamu kemanapun. Selamat menulis (#selfmention).