Multatuli, ‘Guru Rohani’ Sastra Indonesia

De pen is machtiger dan het zwaard

(The pen is mightier than the sword)

Sekilas pribahasa Belanda di atas terdengar tidak asing. Ya, pribahasa itu di Indonesia menjadi ‘pena lebih tajam dari pedang’ yang juga dapat disimpulkan tulisan bahkan bisa membuat perubahan lebih dalam daripada kekerasan. Pribahasa yang sangat pas menggambarkan kehidupan seorang Multatuli atau Eduard Douwes Dekker di masa Hindia-Belanda lalu.

Multatuli, tentu kita sudah sering mendengar namanya. Hanya namanya. Apa sepak terjangnya? Jarang di antara kita yang tahu ataupun mencari tahu. Dalam pendidikan sejarah di berbagai sekolah dasar – yang memang sudah diatur dalam kurikulum kepengajaran, nama Multatuli kerap disinggung. Namun hanya secuil, kadang hanya sepintas dan terkesan numpang lewat saja. Padahal pria berkebangsaan Belanda yang lahir 2 Maret 1820 lalu ini memiliki andil sangat besar terutama dalam perjalanan sejarah sastra di Indonesia.

Penulis Belanda kelahiran Amsterdam ini sempat tinggal di Indonesia dan beberapa kali bekerja pada pemerintahan masa itu. Menemukan kebuntuan dalam kehidupan politik masa penjajahan, Multatuli lalu memutuskan untuk fokus dalam dunia kepenulisan. Novel bergaya satirenya yang berjudul Max Havelaar (1860) menjadi perbincangan di berbagai kalangan baik Belanda maupun Indonesia bahkan dunia. Setelah buku ini terjual di Eropa, maka kehidupan Hindia-Belanda saat itu semakin terbuka dan memuluskan namanya sebagai pengarang yang diakui.

Meski kehidupan pribadinya tidak berjalan semulus karirnya sebagai penulis, ia tetap menuliskan kehidupan rakyat Hindia-Belanda. Nama Multatuli sendiri memiliki arti ‘Aku yang sudah banyak menderita’, mengacu pada kehidupannya.

Continue reading Multatuli, ‘Guru Rohani’ Sastra Indonesia