CUATKAN SIKAP KRITIS MAHASISWA

Lomba Debat Udayana Debating Society

Lomba debat antar mahasiswa 18-20 Desember lalu cukup menarik perhatian penggiat debat berbahasa Inggris. Bagaimana tidak? Sebanyak 28 team unjuk gigi dalam debat mahasiswa se-Bali ini. Lomba yang bertempat di Fakultas Sastra Universitas Udayana ini diselenggarakan untuk pertama kalinya oleh Udayana Debating Society (UDS) sebagai realisasi program kerja.


“Kami memang sengaja membuat lomba debat untuk menumbuhkan sikap kritis mahasiswa. Khususnya dalam bahasa inggris,” ujar Rudy Santoso Cangi- Ketua pelaksana sekaligus ketua UDS.  Antusiasme para peserta diakui oleh Rudy memang sudah dapat diprediksi sejak awal. Mengingat belakangan lomba debat mahasiswa cukup sulit ditemukan di Bali. Sehingga tidak salah bila lomba yang persiapannya cukup mepet ini mendapatkan sambutan yang cukup besar dari seluruh penggiat debat bahasa inggris. Hal tersebut dapat disaksikan saat perlombaan berlangsung. Para peserta yang berasal dari Universitas Mahasaraswati (UNMAS), Poltekes, Stikes, Mahendradatta, UNHI, PANJI SAKTI Singaraja, STIMI HANDAYANI, ISI, UNDIKSHA, STIKES Kebidanan, Warmadewa dan UNUD ini sangat antusias dalam mengikuti perlombaan baik dari persiapan maupun performanya saat berlomba.
Persiapan yang mereka lakukan berkisar antara mencari bahan dan berlatih debat dengan baik. Terutama yang diuji disini merupakan pembuktian sikap kritis dari para mahasiswa. Sikap- sikap kritis mahasiswa tersebut dibuktikan dengan pemilihan tema debat yang cukup unik. Berbagai isu internasional dan nasional diangkat seperti isu global warming, pendidikan, globalisasi hingga pengiriman miss universe. Tak ayal para peserta bertarung cukup sengit untuk memperebutkan gelar juara.
Setelah serang menyerang pendapat dengan sikap kritis tinggi, keluar sebagai juara I Sekolah Tinggi Perhotelan (STP) Bali. Disusul juara II Fakultas Kedokteran UNUD dan sebagai juara III diisi oleh fakultas Sastra UNUD.  Menggusung tema besar “Preserve Debating, Be Critical Thinkers”, lomba yang berlangsung selama 3 hari  ini diakui oleh para peserta menggugah semangat mereka dalam mengemukakan pendapat.
“Melalui lomba ini saya belajar kemampuan mengemukakan pendapat dan berpikir kritis,” kata Agus Indrawan, salah satu anggota team dari STP. Ucapannya kontan disambut anggukan antusias oleh peserta lain karena memang tidak sedikit yang merasa mendapatkan manfaat. Diketuai oleh A.A Nyoman Supadma, salah satu program kerja UDS terbilang cukup mulus dalam pelaksanaan. Meski umur  Unit Kegiatan Mahasiswa ini baru seumur jagung, namun beberapa kegiatan telah diadakan oleh UDS. Salah satunya ialah lomba debat ini yang nantinya akan dijadikan program tahunan. (linapw)

“Makin Kotor, Makin Bau, Saya Makin Suka”

Ini adalah sedikit hasil ngobrol-ngobrol dengan Yuyun Ismawati, Penerima Goldman Prize- “Nobel” Lingkungan

“Kadang ya saya suka gemeeees banget sama orang- orang. Udah tau Buang Air Besar (BAB)  di sungai merugikan masih dilakuin, udah tau buang sampah bikin susah teteeep aja buang sembarangan. Jadi bingung!” ujar Yuyun Ismawati- penerima Goldman Prize soal limbah.
Ke’gemes’an Yuyun- sapaan akrabnya tentu bukan tanpa sebab. Ia menuturkan hal yang paling membuatnya gemes justru sangat sederhana yaitu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap limbah. Banyak contoh dari permasalahan tersebut, salah satunya BAB di sungai. BAB di sungai terbukti sangat merugikan banyak orang. Organisme- organisme dalam sungai bisa mati keracunan karena kotoran kita mengandung bakteri E-coli dan banyak bakteri lainnya. Belum lagi bila masyarakat di sekitar sungai menggunakan air resapan (sumur) dalam kehidupan sehari- harinya. Dapat dipastikan mereka akan mengalami diare dan penyakit lain yang berawal dari bakteri. Limbah kotoran kita memang terlihat sepele, namun sebenarnya sangat krusial terutama dalam permasalahan air dan sanitasi, seperti yang disampaikan oleh Yuyun.
Kurangnya kesadaran masyarakat masalah limbah membuat Ibu yang menjadi single parent ini tergerak dalam bidang lingkungan hidup. Karirnya dimulai sebagai insinyur pemerintah untuk merancang suplai air di daerah pedesaan dan kota. Namun, ia merasa  ketrampilannya akan lebih berguna untuk masyarakat kecil yang membutuhkan pengelolaan sampah. Maka bekerjasama dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Iapun mulai merancang pengelolaan sampah yang baik bagi masyarakat miskin.


Pengelolaan sampah tersebut berjalan dengan lancar. Hingga akhirnya di tahun 2000, Yuyun- sapaan akrabnya membuka LSM sendiri yaitu Bali Fokus untuk lebih menyebarkan system pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Di tahun 2003 lalu, Bali Fokus bekerjasama dengan Rotary Club memprakarsai program pengelolaan limbah padat di Gianyar.
“Selain masalah sampah, masalah sanitasi juga cukup penting. Kalau masyarakat sadar sedikiiiit saja, pasti masalah- masalah itu tidak akan sedemikian pelik,” ujarnya berapi- api menuturkan keprihatinannya. Menanggapi masalah limbah, wanita yang mengikuti pramuka sejak SD ini mengembangkan program pemilahan dan pembuatan kompos dari limbah rumah tangga yang dimulai tahun 2004 lalu. Melanjutkan kesuksesan program tersebut, Yuyun dilibatkan dalam pengembangan SANIMAS- program pengelolaan limbah pemukiman miskin kota. Tahun 2008 Ia mendirikan jaringan bebas racun Indonesia (Indonesia Toxics- Free Network/ ITFN) yang mengupayakan pencegahan merkuri, pestisida dan asap beracun pembakaran sampah secara luas.
Limbah sudah seperti makanan sehari- hari bagi Fellow Ashoka soal lingkungan ini. Hingga akhirnya ia mendapatkan ‘Nobel’ Lingkungan bertajuk Goldman Enviromental Prize. Yuyun tercatat sebagai orang Indonesia ke-3 yang mendapatkan penghargaan yang dimulai 1989 lalu. Di tahun 2009, terdapat 6 orang yang menerima penghargaan ini. Masing- masing: Yuyun Ismawati- Bali, Indonesia, Marc Ona Essangui dari Gabon (Benua Afrika), Maria Gunnoe, Bob White dari West Virginia (Amerika Utara), Olga Speranskaya dari Rusia (Benua Eropa), Rizwana Hasan dari Banglades (Asia), dan Hugo Jabini serta Wanze Eduards dari Suriname (Amerika Tengah dan Selatan). Keenamnya berhak atas hadiah masing-masing 150.000 dollar AS yang dianugerahkan di San Francisco Agustus lalu.
“Kalau udah soal limbah kasi saya saja. Makin kotor, makin bau, saya makin suka,” canda ibu beranak 2 ini sembari tertawa riang. Iapun menuturkan masyarakat seharusnya sadar terhadap masalah limbah khususnya air dan sanitasi karena akan berdampak besar dalam kehidupan sehari- hari. “Orang- orang lumpuh saja bisa peduli, kenapa kita tidak?” tambahnya lagi mengakhiri wawancara. (linapw)

Nasi Goreng Monster Ca’ Edi, Porsi Ngamuk Rasa Ciamik

Tik… tik… tik…. suara jam di hape saya seakan memburu sang waktu untuk mempercepat langkahnya menuju jam pulang kuliah. Pergi dengan perut kosong ternyata sangat berdampak besar dalam kehidupan perkampusan yang sangat kejam. Ocehan beberapa teman dan dosen seakan neraka di kelaparan yang dashyat ini.

“Ada pertanyaan?” ujar dosen yang sebenarnya tidak terlalu membosankan tapi menjadi sangat ingin disingkirkan karena balada gemuruh perut. Jari tengah dan telunjuk saya satukan, tanda keberuntungan katanya. Hati kecil yang biasanya hanya membisikkan intuisi kini berteriak semoga tidak ada yang bertanya. Syukurlah ternyata memang tak ada yang bertanya. Dari tampang teman-teman sih tampak semuanya menyimpan keinginan terpendam. Bisa dilihat Nike disebelah sana, tangannya sudah gatal menggapai komik jepang faforitnya, atau Gung De yang daritadi mengoceh soal Lady Gaga seperti ingin berjoget dangdut mengikuti alunan lagu si ratu dalmantion. Kadang terlihat kumpulan anak belakang yang melempar-lempar tisu kecil yang sudah digulung jadi bola. Intinya, orang yang mengacaukan kekhusyukkan doa teman-teman untuk segera pulang dan makan adalah seorang pembawa bencana.

Syukurnya teman-teman cukup cerdas untuk tidak menjadi korban jagal teman- teman yang lain dengan cara diam dan memandang dosen dengan tatapan (sok) bersalah karena tidak bertanya. Biasanya oknum-oknum seperti itu hanyalah yang suka duduk di depan dan memperhatikan dosen tanpa berkedip. Dosen sepertinya cukup mengerti akan keadaan para mahasiswanya dan dengan setengah hati tersenyum sambil berkata “Oke kalo tidak ada kita ketemu minggu depan.” Sontak semua teman bersorak girang, menyambar tas masing- masing dan meluncur dengan gaya ballerina ke pintu terdekat.

Panas membara siang itu tidak akan menyurutkan tekad saya untuk makan besar. Maka begitu teman-teman selesai berkumpul dan menyuarakan keinginan untuk makan yang sangat besar, kami sepakat makan di warung CA’ EDI yang bertempat di jalan depan bakso dwi rasa malang di seberang Resman. Kelaparan yang sangat membuat rupa kami mendekati zombie dan hanya bisa dipulihkan dengan makan makanan sehat, murah dan banyak. Yangmana semua kriteria itu bisa didapatkan di CA’ EDI.

Singkat cerita, sampailah kami di warung CA’ EDI yang cukup sederhana ini. Kami mulai memesan dengan nafsu terumbar jelas. Saya kira menu yang patut menjadi rajanya adalah nasi gorengnya. Kadang kami iseng memberi sebutan nasi goreng monster. Hal yang tidak aneh mengingat porsinya sangat ngamuk. Kalau di Kreneng nasi gorengnya seharga 8rb rupiah tanpa telor dan bumbu yang jelas, di CA’ EDI nasi gorengnya dengan harga hanya 7rb seukuran 2x porsi kreneng dengan telor yang indah serta bumbu yang sangat dashyat. Kalau suka pedas, kita bisa minta dibuatin yang pedas. Kita memang jarang mendengar kualitas dibarengi kuantitas (biasanya hanya salah satunya yang dominan), namun di sini kita mendapatkan keduanya seimbang! WOW!

Kalau memang lewat sana saat makan siang bisa dicoba nasi goreng buatan pasangan tua ini. Saat menikmati nasi goreng atau chinese foodnya yang lainpun kita disuguhi dengan suasana apik dari masa lalu. Perabotannya seperti perabotan jaman nenek saya. Sesekali alunan lagu-lagu daerah diputar menemani para penikmat makanan cina khas warung ini. Cihuuui…. ;p