Pemanasan Sebelum Toraja #2

Trans Studio Makassar, Dari Rumah Hantu Sampai Rumah Bolang

 

Sudah baca perjalanan ke Toraja #1? Yah ini lanjutannya saat kami mendarat dan menjejak Makassar (dalam hal ini saya) untuk pertama kalinya. Pendaratannya juga berjalan cukup lancar dan cepat. Akhirnya kami sampai di Makassar, yeay!

Bandara Internasional Sultan Hasanuddin tampak besar dibandingkan bandara di Bali. Dengan karpet di tiap lantainya dan kemegahan ruang yang besar bolehlah disandingkan dengan Changi di Singapura (lantainya doang ya tolong dicatet). Tapi memang dari segi tempat dan kenyamanan berbeda cukup jauhlah. Di bandara ternyata kami sudah ditunggu oleh tantenya Beatrice, dan hap, bermobillah kami menuju Makassar.

โ€œEh, mumpung disini, ke Trans Studio yuk,โ€ celetuk Beatrice di perjalanan. Mengingat bus kami ke Toraja akan berangkat pukul 8 malam nanti, ide untuk menghabiskan siang di Trans Studio cukup membuat kaki bergelinjang saking semangatnya. Maka jadilah kami diantar ke Trans Studio. Perjalanan cukup panjang dan ternyata kami melewati pantai yang lumayan terkenal di Makassar, pantai Losari. Sayang pantainya sudah tidak indah lagi, airnya sudah coklat dan bangunan-bangunan malang melintang di pinggirnya. Malah pantai yang dekat dengan Trans Studio sudah tidak berbentuk lagi.

Kalau menyimak twitt saya dalam perjalanan ke Trans Studio lalu, pantai ini sudah dipermak habis hingga bangunan dapat berdiri di atasnya, tentu dengan biaya yang tak sedikit dan adanya ekosistem yang akhirnya harus dikorbankan. Meski miris, kami pun tetap menuju Trans studio dan siap menjelajahinya.

Ternyata yang turun di Trans hanya kami, sang bibi sudah pulang ke rumahnya begitu saja. Tak masalah, kami muda dan sedang panas untuk bersenang-senang, maka tancap sajalah. Dengan merogoh kocek 100 rebu rupiah perorang kami sudah bisa menikmati berbagai wahana dalam Trans Studio ini. Masuknya menggunakan kartu prabayar yang bisa diisi ulang kalau-kalau dibutuhkan. Total ada 21 permainan yang bisa dinikmati.

Yang terlihat cukup menantang adalah rumah hantu, bagaimana tidak? Dari awal mengantre di luar, kami sudah disuguhi teriakan-teriakan (yang katanya si Kunti lagi beranak #eh), cukup membuat Beatrice merinding dangdut. Begitu masuk rumah hantu, suasana kelam dan keegelapan menyelimuti, kami diberi sepatah dua patah kata untuk membangun โ€˜kekelamanโ€™ rumah hantu dan dikagetkan dengan beberapa sosok berkerudung hitam yang berlagak menjadi dementor. Beatrice cukup takut hingga melompati pagar karena kaget dan akhirnya batal ikutan kereta untuk berkeliling rumah hantu. Sepertinya akan menarik kan? Saya tetap menaiki kereta itu dan bersiap dikagetkan dengan kejutan-kejutan lain. Namun kekecewaan meliputi wajah saya (sepertinya) karena dalam rumah hantu yang ada ya hanya display hantu-hantu Indonesia, tidak ada pocong yang tiba-tiba ngasi lollipop, atau kunti yang lagi nyabutin pakunya, atau suster ngesot deh yang lagi ngesot. Jadi yah, begitu saja ternyata.

Wahana lain cukup menarik seperti putar beliung, dimana kita akan diputar-putar, putaaarrr sampai tinggi dan turun lagi, tinggi dan turun lagi, juga ada roller coaster mini yang berakhir di air. Salah satu yang cukup asyik adalah Dragon Tower dimana kita diayun-ayunkan naik turun. Naiknya hingga kita bisa melihat penampakan Trans Studio dari atas dan hati dijamin mencelos saat kita turun dan kaki tak menapak tanah. Lalu ada juga rumah bolang, dimana kita bisa trekking dengan jeep dan main kereta api. Di luar wahana-wahana itu kita juga bisa melihat live music, tarian zombie lengkap dengan Michael Jackson sebagai pimpinan dan bioskop yang menayangkan film-film lokal

*bersambung ๐Ÿ˜›

 

Perjalanan Serba Kebetulan ke Tana Toraja #1

Tak banyak yang percaya kebetulan yah, saya sendiri sih masih setengah-setengah juga. Tapi perjalanan saya kali ini memang benar-benar bisa dikategorikan kebetulan. Dari awal mula hingga kondisi-kondisi di sekitarnya bisa dibilang serba kebetulan hingga akhirnya menginjakkan kaki di Tana Toraja.

Awalnya rencana perjalanan kali ini bukan ke Toraja, tapi ke Menado. Salah seorang kawan saya yang berasal dari Menado, sebut saja Nike (nama sebenarnya) akan pulang ke Menado demi menghadiri nikahan saudara. Pikir saya daripada tidak kemana-mana apa saya ikut saja, kan lumayan tuh mencoba coba makanan Menado yang katanya memasak apapun. Ide itu disambut baik. Singkat cerita kamipun sudah memegang tiket ke Menado dan dengan sumringah menunggu jadwal keberangkatan (agak lebay sih). Dengan tiket sudah di tangan dan jumlah hari yang cukup lama, rencana berkembang untuk pergi ke Toraja, masih sepulau sih tapi dengan bus bisa dua hari baru nyampe, he. Jadilah keinginan ke Toraja ditangguhkan dulu.

Saya ingin ke Toraja sejak saya tahu ada daerah bernama Toraja dengan sejuta isinya. Memang mulanya hanya penasaran, tapi lama-lama keinginannya memuncak, tapi yah pasrah juga karena jaraknya jauh dari Menado. Beberapa hari sebelum waktu keberangkatan tiba, berita tak enak muncul, keberangkatan kami ke Menado terpaksa batal namun duit tiket dibalikin, entahlah.

Perasaan gamang menggelora, keinginan jalan sudah memuncak. Tiba-tiba teringat seorang kawan yang berasal dari Toraja dan berencana pulang kampung juga. Beatrice (juga nama sebenarnya) yang saya kenal belum lama di sebuah gawean mengabarkan bahwa benar ia akan pulang ke Toraja, dan ia dengan senang hati menampung saya di rumahnya bila saya berencana pergi, ia juga mengiming-imingi saya pergi ke beberapa tempat di Toraja, liurpun menetes, tiket terbeli dan kami berangkat, uyeeeeeeaaahhh ๐Ÿ™‚

Kurang lebih ada empat kebetulan dalam seperiode ini : keinginan jalan dan kesempatan yg udah ada tp ternyata batal, dapet kawan yang ternyata asalnya dari Toraja, benar-benar niat ke Toraja dan akhirnya kejadian, si kawan ternyata memang ada niat pulang kampung, ini Toraja – tanah yang dari dulu kuimpikan untuk dijejak, aaah….

ย maaf, bukannya narsis tapi inilah penampakan kami saat baru tiba di Makassar ๐Ÿ˜€

*bersambung