Liur Rindu dan Kerling Harap Dalam Bubur Komak, Nusa Lembongan, Bali

Melihat hampir seluruh Bali memiliki pemasukan cukup besar dari pariwisata, pasti tak menyangka kalau salah satu pulaunya, pernah kekurangan bahan makanan dan menggantungkan hidupnya pada Kacang Komak yang dijadikan bubur dengan Singkong.

Mushroom Beach, Nusa Lembongan, Bali

Aku mendengar kisah-kisah orang tua dulu tentang kekurangan bahan makanan, terutama di pulau-pulau kecil sekitar Bali daratan. Nusa Lembongan salah satunya. Selain Nusa Lembongan, ada dua pulau lain di dekat Bali daratan : Nusa Ceningan dan Nusa Penida. Nusa Lembongan salah satu yang kini terkenal dengan pariwisatanya karena memiliki berbagai fasilitas dan alam yang indah, ternyata dulu serba kekurangan dan gersang, kering serta agak sulit dijamah.

Jangankan untuk menaikkan pariwisata, untuk mendapatkan bahan makanan saja susah. Beras untuk diolah jadi nasi adalah mimpi yang cukup mewah kala itu. Kekurangan bahan makanan juga menjadi alasan masyarakat Lembongan untuk pergi meninggalkan pulau indah di dekat Bali ini. Masyarakat Lembongan yang tersisa menggantungkan hidup mereka pada sebuah makanan yang dinamai Bubur Komak dengan bahan utama Singkong dan Kacang Komak. Singkong digunakan karena memang sangat umum bagi masyarakat Lembongan untuk menanam Singkong di tegalan (kebun) mereka. Singkong bisa tumbuh tanpa perlu usaha keras, begitu juga Kacang Komak yang bandel hidup di daerah tandus sekalipun.

Masyarakat Lembongan mulai mengolah makanan dengan dua bahan pokok tersebut. Bahan lainnya tidaklah sulit didapatkan. Bumbu-bumbunya sendiri sangat familiar dengan masyarakat Bali. Beberapa yang dibutuhkan selain Singkong dan Kacang Komak hanyalah : base genep (bumbu segala yang isinya cabe, kunyit, bawang merah & putih, jahe, garam, lengkuas, dan merica), kelapa parut, ubi rambat, dan air. Soal nilai gizi tak perlu dipertanyakan lagi. Karbohidrat yang terkandung dalam Singkong dan Ubi menggantikan nasi sekaligus memberikan kalori dan vitamin B. Kacang Komak yang sangat mudah ditemui mengandung protein tinggi dan bisa hidup dimana saja menjadi nilai plusnya karena mudah ditemukan. Sedangkan base genep, bumbu istimewa masyarakat Bali dimanapun mengandung anti bakteri juga anti oksidan, dan kelapa parut mengandung serat.

Kacang Komak
Mengupas Singkong. Meme mengupas Singkong yang menjadi salah satu bahan utama Bubur Komak
Base Genep

Secara keseluruhan, Bubur Komak, selain sebagai harapan hidup masyarakat Lembongan di kala bahan lain susah, juga memiliki kandungan gizi tinggi yang berguna untuk metabolisme tubuh, pembangun sel, pemberi energi dan bagus untuk pencernaan.  Uniknya makanan khas Lembongan satu ini tidak dijual di pasar, masing-masing rumah masih membuatnya sendiri dengan bahan bahan dari tegalan mereka.

Adalah Ni Wayan Malang, 52 tahun, ibu kawan Lembonganku. Beliau berbaik hati membuatkan makanan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Lembongan ini. Aku mendatangi rumahnya yang sederhana di Lembongan, menemaninya ke tegalan untuk memetik Singkong dan ubi segar serta kebutuhan lainnya untuk membuat bubur komak. Meme – sebutan untuk ibu dalam bahasa Bali, begitu ia kupanggil, sangat bersemangat tatkala membicarakan tentang Bubur Komak. Mulai dari pembuatannya hingga sejarahnya ia bercerita dengan sesekali tersenyum padaku. Meski sudah cukup berumur, matanya terlihat berbinar saat membuat bubur ini. Dengan tangannya yang mulai keriput namun kokoh, ia mulai menggali Singkong, mengupas serta memotong-motong Singkong tersebut sehingga siap dimasak. Kacang Komak dipisahkan dari kulitnya dan direbus paling pertama. Setelah itu dimasukkan Singkong dan Ubi rambat. Base genep ditumbuk kasar dan dicampur kelapa parut lalu dicampur dengan adonan kacang dang singkong yang telah mendidih. Meme tidak memerlukan lap atau kain penghalau panas dari panci saat ia memegang pegangan panci untuk mengaduk semua bahan menjadi satu. Wanita beranak dua ini melakukannya dengan tangan telanjang dan muka datar tanpa ringis kepanasan. Tak lama kemudian bubur siap disajikan.

Bubur Komak yang baru matang
Bubur Komak yang siap disantap

Meme sebelumnya sudah mengabarkan pada semua penghuni rumah bahwa ia akan membuat bubur komak. Kabar itu disambut tatapan bersemangat penghuni rumah. Rumah bali, satu natah (halaman) terdiri dari beberapa Kepala Keluarga (KK), di rumah meme ada 4 KK, dan semuanya terlihat sangat menanti-nanti matangnya Bubur Komak ini. Setelah bubur ini matang, semua anggota keluarga tak sabar menyantapnya. Kami membagi 2 bubur yang dibuat meme sepanci penuh. Satu panci akan dibawa ke pinggir pantai tempat kawanku, anak meme, dan beberapa kawan lainnya berkumpul.

Benar saja, kawanku, dan beberapa kawan lainnya sangat girang menerima bubur Komak buatan meme. Terlihat kilatan senang dan bahagia di mata mereka. mereka jelas tak sabar memakan bubur ini. Kami makan bersama, dan saat aku mencobanya, memang rasanya sangat ‘Bali’ dengan base genep dan Singkong serta sesekali muncratan kandungan air dari Kacang Komak yang tergigit membuat rasa bubur ini semakin kaya. Gurih, manis dan segar. Tiga kata sifat yang dapat menggambarkan bubur yang seakan menciptakan kehangatan rindu masyarakat Lembongan dalam obrolan dan suasana.

Eits, memakan bubur komak tidak boleh banyak-banyak. Karena kandungannya yang kaya serat, protein serta kalori, kita akan cepat kenyang dibuatnya. Kalau kita lapar pastilah kita memakan banyak, apalagi bila rasanya enak. Namun memakan Bubur Komak Lembongan sedikit-sedikit porsinya, setelah menikmati porsi pertama, bernapaslah sekejap dan rasakan apakah kita masih lapar dalam arti sebenarnya ataukah hanya lapar mata. Karena bubur ini akan mengembang di perut. Kalau kita terlanjur kalap saat memakannya, dipastikan perut akan mengembang dan kenyang melanda dengan hebat.

Sangat unik kalau dipikir-pikir. Sebuah bubur yang menjadi harapan hidup masyarakat Lembongan kala susah bahan makanan ini selain menerbitkan liur rindu dan kerling harap, juga menyimpan filosofi hidup untuk tidak rakus dan serakah. Jadi, kapan kalian akan mencobanya?

Foto oleh : Lina PW

Berburu Babi Guling Dengan Kawan Baru Dari Hawaii

Pengalaman ketiga dan terbaruku dengan Couchsurfing adalah menjadi host untuk kawan baru dari Hawaii. Seperti biasa, ia mengirimiku permintaan menjadi host. Uniknya, si Jason-nama kawan baruku itu memintaku untuk menunjukkan padanya tempat makan makan dan makan. Aku akhirnya ke banyak tempat makan dengan Jason. Namun yang paling mengesankan mungkin saat kami mencari babi guling – makanan khas Bali, pagi-pagi buta.

Pukul setengah 4 pagi, ayam bahkan belum mengeluarkan kokok malu-malunya saat kami berangkat ke sebuah desa untuk mencobai kuliner khas Bali yang sangat termashyur yaitu Babi Guling. Desa Cepaka namanya, letaknya di daerah Kuta Utara-Badung, sekitar 40 menit berkendara di dinginnya malam dari Denpasar, namun itu semua terbayar, kami dapat menyaksikan pembuatan Babi guling dan merasakannya langsung setelah matang! Wow!

Tempatnya sendiri bukan merupakan warung wah yang terlihat dari luar. Sebagaimana rumah khas Bali yang ada beberapa rumah dalam satu halaman, demikian juga tempat ini. Tidak ada tanda orang berjualan di depannya, yang bisa dilihat hanyalah ramainya motor dan mobil parkir di sebuah gang, dan itulah tempatnya. Babi Guling Slingsing orang menyebutnya. Kami memasuki gang gang cukup kecil di subuh hari itu. Ada beberapa rumah yang kami lewati sebelum akhirnya masuk ke ruang makan dan masak mereka.

Ada beberapa meja panjang dan sebuah bale bengong yang dijadikan tempat menikmati babi guling, lengkap dengan tempat duduk panjang, kerupuk dan air mineral gelas. Namun pemandangan yang tak kalah menarik adalah apa yang terjadi di depan meja makan itu. Terlihat beberapa orang yang sibuk memotongi daging-daging Babi yang baru matang. Dan jelas sangat menggoda selera karena kita bisa melihat dengan jelas guratan-guratan daging, lemak dan wanginya minyak yang dikeluarkan. Dua orang ibu sedang negteg daging dan jeroan babi, seorang ibu sedang menggoreng beberapa bagian Babi itu. Dan adalah seorang kakek yang sedang mengguling Babi lain di pojok sana, bagai orang suci saja.

Babi guling Slingsing buka pukul 4 pagi setiap harinya kecuali hari Minggu buka pukul 3, kalau datang lebih dari pukul 6 jangan harap akan merasakan babi guling ini karena biasanya sudah habis oleh pengunjung, dan kalaupun ada sisa akan dijual ke pasar terdekat. Babi guling itu tidak mahal. Untuk yang besar, disebut Bangkung atau induknya, kita cukup membayar 1,5 juta saja. Sedang untuk yang lebih kecil, Kucit, hanya 750 ribu. Tawaran yang cukup menggiurkan apalagi kalau sedang punya hajatan.

Untuk seporsi Babi Guling yang terdiri dari daging babi, lawar merah, urutan manis, usus goreng dan sedikit sayur singkong. Seluruhnya terasa sangat berempah, seperti kebanyakan makanan Bali. Namun jelas ada yang sangat khas dengan Babi Guling satu ini. Urutan manisnya berbeda dengan urutan kebanyakan karena rasanya manis dan teksturnya yang sangat lembut, juga bumbunya yang berempah terasa sangat unik. Lebih membahagiakan lidah dan mata lagi karena Babinya baru matang serta kita bisa melihat langsung bagaimana ia dibuat.

Jason, yang sangat suka babi guling dan memang suka makan sangat menyenangi tempat ini. Ia bahkan berfoto dengan sang pembuat babi guling.

Harga seporsi Babi guling tidaklah terlalu mahal. Untuk pemanjaan lidah dan mata seperti ini, kita hanya perlu merogoh kocek sebesar 18 ribu, dan kenyanglah seluruh panca indera kita. Karena biasanya matahari belumlah muncul saat pulang dari Babi Guling Slingsing, kita bisa lanjut memburu sunrise dan memulai hari dengan lebih bersemangat. Selamat berburu!

Perjalanan Numpang Sofa Mobil #2

Kisah keduaku nebeng di sofa orang berbekal akun Couch Surfing juga terjadi di Lawrence, Kansas. Saat itu aku berkesempatan untuk belajar bahasa Inggris selama dua bulan di University of Kansas dan jelas bagiku ini adalah saat jalan jalan dan membuka wawasan lebih jauh lagi. Kali ini aku tidak mengirimkan pesan dulu, tapi aku posting pertanyaan seputar apa saja kegiatan alam yang bisa dilakukan di grup Lawrence.

Beberapa orang membalas pertanyaanku dan beberapa lagi cukup informatif dengan memberiku tautan yang sangat berguna. Namun salah satu yang sangat aktif memberiku informasi adalah Myre. Jelaslah bagiku untuk menghubunginya, dan saat aku menghubunginya ia sangat –sangat sangat bersemangat mengajakku jalan, lalu kami mengatur waktu untuk bepergian bersama, uhuuuy.

Pagi 17 Juni lalu aku ada jadwal bersama Myre untuk jalan. Myre adalah seorang kawan yang kutemui di CS. Seperti Daniel, akupun baru pertama kali bertemu dengannya. Dari saran dan komentarnya di grup sepertinya ia tahu banyak dan cukup asyik diajak jalan. Well, kita cari tahu hari ini.

Ia menjemputku di Hash, dan kami berkendara ke Dog Park dekat Clinton Lake. Myre lulusan sekolah grafis dan sekarang bekerja sebagai freelance membuat video game dan kerjaan-kerjaan lainnya. Ia cukup asyik dan banyak punya cerita. Satu hal yang unik adalah ia belajar juggling. Katanya ia ingin bekerja di sirkus dan sedang benar-benar berusaha untuk itu.  Dan ia suka hiking juga tahu tempat-tempat menyenangkan di Lawrence yang gedungnya sedikit. Haha, sepertinya aku membutuhkan itu memang. Kami trekking cukup lama dan mencoba jalur baru, malah kami juga mencoba-coba jalur baru untuk tembus di jalan keluar lainnya.

Dog park cukup luas, dan banyak pohon memang, juga ada lapangan luas yang ada hibilnya (jerami yang diputar-putar sampai besar). Kami bermain-main di sekitar sungai kecil dan aku mengambil beberapa foto. Kami juga menyebrang melewati sungai yang dangkal (sangat) dan berbatu lumut. Sesampainya di seberang, Myre melihat keluarga besar ular sedang meringkuk di salah satu gua batu di bagian bawah sungai. Ada kali 4-7 ular di sana, dan mereka semua sadar. Aku kembali mengambil foto.

Saat makan siang kamipun kembali ke dormku. Sungguh seharian yang menyenangkan dengan Myre! Dan CS memang sungguh membantu proses berjejaring ini. Selamat mencoba 🙂

 

 

Perjalanan Menumpang Sofa Mobil #1

Sudah lama deh rasanya update tentang perjalanan ke Kansas. Catatan perjalanannya banyak, cuma banyakan curhat isinya, dan mungkin akan membosankan kalau dibagi di sini. Jadi dalam sesi pemilahan, adalah sebuah cerita tentang Couch Surfing yang akan aku bagi disini, terkait juga dengan gelaran CSI festival 2012 yak, kali aja dapet tas Eiger gituuu kaan (ngarep) ;).

 

Sebelum berangkat ke Kansas, jelas keinginan untuk tahu seluk beluk dunia yang lain itu sangat besar. Kapan lagi dapet kesempatan maen ke belahan dunia lain dan jalan jalan sore di sana. Hanya saja pasti akan ada kendala di transportasi atau pengetahuan lokal tentang daerah itu. Dan pikiran akhirnya jatuh pada Couch Surfing, yang demi kesehatan jari mari kita singkat dengan CS. Sebuah situs pertemanan orang-orang doyan jalan yang diperkenalkan oleh kawanku Amelia tahun lalu. Waktu itu aku buru-buru bikin akun dan tak terlalu sempat mengurusi, tapi saat akan berangkat ke Kansas, mulailah gerilya berteman dengan berbagai macam orang dimulai. Aku mencari-cari orang-orang yang sepertinya asyik untuk diajak jalan. Secara tempatku menghabiskan dua bulan belajar bahasa di Kansas adalah University of Kansas yang notabene terletak di daerah kecil berjudul Lawrence.

Aku sudah mengirimkan message ke beberapa orang yang sepertinya asyik diajak nongkrong. Dan jadilah akhirnya aku bertemu orang pertama, Daniel Steinmann, seorang pria yang berasal dari Swiss. Ia seorang peneliti dan bekerja di University of Kansas. Awalnya agak takut juga, akhirnya aku memberanikan diri untuk bepergian bersama, dan benar, baik-baik saja. Ia menjemputku di dorm dan mengajakku ke Clinton Lake, sebuah danau yang sangat besar di Lawrence, karena di Lawrence tidak ada laut, yah perjalanan kali ini sangat menghibur, setidaknya aku lihat air!

Clinton Lake terletak cukup jauh dari tempatku tinggal, dan parahnya tidak ada bus yang menuju kesana. Entah karena memang tidak ada atau karena summer banyak kegiatan yang ditiadakan, bukan tidak mungkin transportasi menuju Clinton Lake juga ‘diistirahatkan’. Jadilah kami berkendara sekitar 30 menit melewati jalanan yang kanan kirinya perkebunan gandum. Sampailah kami pada salah satu pemberhentian Clinton lake. Di sana kami harus memulai trekking sekitar 15 menit melewati hamparan kayu dan hutan mini yang aku yakin semuanya manmade. Kami ngobrol mengenai beberapa hal dan akhirnya sampai di pinggir danau. Meski keinginan berenang sangat tinggi, aku tidak membawa baju dan menumpang di sofa mobil orang, jadilah aku kalem kalem aja dan berusaha menikmati pemandangan senikmat mungkin. Clinton Lake ini sendiri merupakan bendungan dan dulunya bekas markas US Army di Lawrence. Tidak heran kalau kita bisa melihat pos-pos tak bertuan. Danau ini menjadi ruangan rekreasi vital masyarakat Lawrence, Kansas.

Daniel kerap memberikan beberapa masukan kalau semisal mau jalan-jalan di daerah Lawrence.  Ia sendiri mengakui kalau di Lawrence memang tidak terlalu banyak yang bisa dilihat. Tidak seperti di Switzerland, Negara asalnya atau di Indonesia, asalku. Dan memang benar adanya, karena aku juga sudah sempat browsing dan ngobrol-ngobrol dengan penduduk di Lawrence. Namun beberapa hal yang bisa dinikmati dari segi alam ataupun untuk trekking di sini yah sekitaran Clinton Lake saja. Di sana sini ada kawasan semak-semak mini dimana kita bisa menikmati pepohonan dan BBQ-an dengan kawan-kawan. Ia juga memberikan beberapa masukan khususnya untuk menikmati downtown Lawrence di saat summer seperti ini.

Sejauh ini menemukan kawan jalan di CS sangat berguna dalam menambah jejaring pertemanan baru bagi mereka yang suka jalan khususnya dan untuk menambah informasi (serta tebengan) saat kita berada di tempat yang sama sekali baru. Selain itu beberapa member yang aku temui memang sangat terbuka dan asyik diajak jalan. Jadi, sudahkan kalian mencobai CS sampai hari ini?

Rujak Bali, Cita Rasa Baru Olahan Buah

Banyak cara mengolah buah, seperti banyak juga cara ke menuju Roma. Semuanya jelas demi kenikmatan baru dalam menikmati buah. Buah biasa dijadikan jus, salad, ataupun dimakan langsung tanpa diolah lagi. Di Bali, buah biasa diolah menjadi rujak, sebuah makanan berbahan dasar buah dengan bumbu pedas atau manis.

Kalau kita berjalan-jalan di Bali, masih banyak bisa ditemui warung-warung pedagang rujak berjajar di pinggir jalan. Salah satu ciri khasnya adalah adanya ulekan di warung tersebut. Rujak diolah dengan menambahkan bumbu pada buah-buahan tersebut. Buahnya pun beragam, namun yang biasa ditemui Mangga muda, Pepaya muda, Nenas, Timun, Kedondong dan Bengkoang.

Buah-buahan itu akan dipotong kecil-kecil atau diiris sedemikian rupa agar mudah dimakan. Pilihan bumbunya ada beberapa juga, yaitu rujak kuah pindang, gula bali atau cuka. Bumbu dasarnya terasi, garam dan Lombok secukupnya, barulah bila ingin ditambahkan penikmat lain seperti kuah pindang untuk rasa gurih, gula bali untuk rasa manis atau cuka untuk rasa kecut.

Penikmat rujakpun beragam, dari tua hingga muda, anak sekolahan hingga ibu rumah tangga. Tak jarang terlihat wisatawan mencoba rujak karena memperhatikan nikmatnya warga Bali memakan olahan buah yang satu ini. Rasa gurih dari kuah pindang tentu menimbulkan pertanyaan di kepala demikian juga rasa unik yang ditimbulkan cuka.  Sedangkan rasa pedas itu sesuai dengan permintaan sendiri.

Mencari aman, para wisatawan baik lokal dan asing biasa memesan rujak dengan bumbu gula bali yang manis. Dengan bumbu ini mereka dapat mencoba rujak tanpa takut kaget dengan bumbu lain karena tidak biasa dengan rasanya. Bagaimana? Siap mencobai olahan buah khas Bali ini?