“Penting dalam sebuah cerita untuk memiliki logika. Meskipun fiksi, logika tetap diperhatikan,” ujar Fajar Arcana, atau yang biasa dipanggil Bli Can – Editor Kompas Minggu, padaku sembari tersenyum kecil.
Sambil membalik-balik karyaku, ia melanjutkan tuturannya tentang membuat kisah yang baik. Dalam hal ini, yang mungkin diterima oleh Kompas Minggu.
Bli Can adalah salah satu dari tiga orang pemateri dalam pelatihan menulis cerpen 2016 yang diadakan oleh harian Kompas di Jakarta akhir (30-31) Mei lalu. Dua orang lainnya ialah Agus Noor dan Linda Christanty. Nama belakangan, sudah sering kudengar sepak terjangnya dalam menulis berita kisah. Sedangkan Agus Noor sendiri kerap kudengar (terutama) di jejaring sosial macam twitter. Ketiganya acap menelurkan cerpen.
Pelatihan yang bertempat di gedung Kompas Palmerah ini berlangsung selama dua hari. Hari pertama membahas karya dengan tiga orang yang kusebutkan di atas. Masing-masing peserta akan diberikan waktu sepuluh menit untuk diskusi tentang karyanya bersama tiap-tiap pemateri. Sesi ini dibagi menjadi beberapa giliran.
Setelah bli Can, aku mendatangi sudut Agus Noor, dan terakhir Linda Christanty, yang secara gamblang memberikan beberapa masukan, juga hal-hal ganjil dalam karya.
Hari kedua dimulai dengan materi Agus Noor untuk ‘menjadi tukang kibul jempolan dalam cerita kita,’ bagaimana kita meyakinkan pembaca bahwa kisah yang kita sampaikan masuk akal. Ia juga menambahkan kalau dalam tiap hal yang terjadi di cerita kita harus ada argumentasi yang logis.
Hal senada juga disampaikan Linda Christanty yang berbagi pengalamannya dalam menulis cerita pendek. Motif yang kuat dari tindakan tokoh-tokoh dalam cerpen kita akan membuat kisah menjadi utuh. Selain itu, cara penceritaan yang berbeda, dan unsur ‘rahasia’ juga penting. Sepenting membuat pembaca terhanyut dengan kata-kata yang kita gunakan dalam karya.
Sesi ketiga dan terakhir dalam ruangan pelatihan disampaikan bli Can. Dimulai dengan sejarah rubrik sastra di harian Kompas Minggu, hingga kiat-kiat membuat cerpen yang akan menarik perhatian para editor.
Tak hanya itu, peserta yang jumlahnya dua puluh orang dan datang dari Pekan Baru hingga Merauke ini pun diajak berkeliling untuk sejenak mengganggu perhatian rekan-rekan redaksi Kompas.
Ketika langit sudah gelap ditelan malam, para peserta pelatihan diajak mengikuti jamuan makan malam bersama cerpenis-cerpenis pilihan Kompas di tahun sebelumnya. Ini acara, yang menurutku sangat berkesan. Dihelat di Bentara Budaya Jakarta, dan dihadiri pula oleh Anies Baswedan, menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, jamuan ini berlangsung syahdu. Syahdu karena tiap cerpenis membacakan penggalan cerpennya yang telah dimuat di Kompas Minggu, dengan berbagai tingkat suara dan mimik.
Jamuan ini juga merupakan acara tahunan Kompas dalam memberikan apresiasi sastra. Ahmad Tohari tahun ini mendapatkan gelar cerpenis terbaik Kompas atas karyanya, ‘Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?’ Sedangkan gelar kesetiaan berkarya diberikan kepada Gde Aryantha Soethama, pengarang asal Bali dengan cerpen ‘Tajen Terakhir.’
Acara dipandu dengan gemilang oleh Bre Redana, hingga pada akhirnya beberapa cerpenis yang hadir melakukan estafet membentuk badan cerpen yang diberikan judul oleh Anies Baswedan. Karya bersama ini nantinya akan diterbitkan di Kompas Minggu. Selain untuk memperingati hari ulang tahun Kompas, juga untuk menunjukkan kesungguhan Kompas dalam mengapresiasi karya sastra.
Kehadiran cerpenis-cerpenis senior seperti Putu Wijaya, Gerson Poyk, Ahmad Tohari, Gde Aryantha Soethama, hingga cerpenis muda yang karyanya mewarnai halaman Kompas Minggu membawa aura kental untuk juga menghasilkan karya. Mungkin bisa kita mulai dengan menggarap ide-ide di kepala agar tidak bablas menjadi tinja. Bagaimana?