Kadek tersentak dari tidur. Peluh membanjiri tubuh, telapak tangan dan kakinya dingin. Penuh gelisah ia melirik sekeliling bale dauh, tempatnya pulas tadi. Ia teringat lagi rencana yang tersusun di kepala sebelum akhirnya jatuh tertidur. Rencana untuk membunuh kakak kandungnya.
Kadek bersila, menatap natah rumahnya dengan pandang nanar, pekarangan yang ia jaga berdua dengan kakaknya, yang bergantian ia siram saat musim kemarau. Matanya beralih ke pohon mangga di dekat bale dangin yang sudah tinggi dan kokoh. Kadek ingat ia menanam pohon itu bersama kakaknya, Tumangun, saat ayah mereka meninggal dunia sebelas tahun lalu.
“Ingat saling menjaga Dek, Tu, lakukan bakti sesuai dengan adat kita,” ujar Bapa di masa-masa terakhirnya. Saat itu pikiran Kadek yang baru lima belas tahun, hanyalah bagaimana melakukan ngaben untuk ayahnya. Ia dibesarkan oleh sang ayah. Ibunya meninggal tujuh tahun setelah melahirkan Kadek. Seingatnya, ibunya memang kerap terlihat sakit dan jarang bicara. Ayah menjadi satu-satunya orangtua bagi Kadek dan kakaknya. Nenek dan kakek dari pihak ibu dan ayah pun sudah tiada.
Setelah Ayah berpulang, Tumangun semakin dekat dengan Kadek. Kakak-beradik itu mengabenkan ayah mereka dengan sederhana. Terpenting adalah pengabenan dilakukan dengan tulus dan mengikuti adat yang mereka percayai. Tumangun yang lima tahun lebih tua, menjaga Kadek sejak itu. Ia beralih menjaga tegalan mereka dan memelihara babi yang hanya tersisa tiga ekor peninggalan Ayah. Dulu mereka punya cukup banyak babi. Namun beberapa ekor harus mereka jual untuk ongkos mengabenkan Ayah.
“Mengapa ngaben itu penting sekali, Bli?” tanya Kadek pada kakaknya suatu hari. Ia teringat bagaimana Ayah susah payah menjual hasil tegal, sapi dan babi untuk mengabenkan ibunya. Mengabenkan Ayah kisah itu terulang, Tumangun menjual babi dan mengumpulkan hasil tegalan yang sedikit, ditabung, untuk beaya ngaben.
“Karena ngaben itu bakti kita buat mereka yang meninggal,” jelas Tumangun.
Tumangun mengerti adiknya masih kecil, dan menganggap orang-orang melakukan ngaben hanya karena semua orang di sekitar melakukannya.
“Berarti nanti tiang akan berbakti pada Bli dengan mengabenkan Bli, ya?” desak Kadek sambil memainkan aritnya membersihkan perdu yang mengganggu ketela dan ubi yang mereka tanam.
“Ya, kalau Bli mati duluan, kamu yang mengabenkan Bli.”
Kadek berpikir, jika kakaknya meninggal duluan, ia akan mengabenkan kakaknya sebagai wujud bakti, tak peduli semua babi harus dijual. Di antara serakan tebasan perdu liar dan gulma itu, Kadek menghela napas, sambil mengukuhkan janji pada diri untuk Tumangun, kakak satu-satunya yang rela bersepeda dua jam ke pasar menjual hasil tegalan, untuk membayar uang sekolah Kadek.
Tumangun sudah lama tidak melanjutkan sekolah, sibuk membantu Ayah. Sejak ayahnya meninggal, ia lebih giat lagi mengerjakan tegalan, untuk membeayai sekolah adiknya, dan untuk makan mereka sehari-hari. Ia dikenal sebagai petani tekun dan penabuh kendang paling tersohor di desa. Tiap malam, selepas mengerjakan tegalan dan makan bersama Kadek, Tumangun langsung bergegas ke bale banjar untuk latihan persiapan pementasan, atau sekedar makan kacang dan bersenda gurau dengan pemuda banjar lain. Kadek suka sekali ikut serta kakaknya berlatih kendang. Ia terlena dan terpesona dengan kesuntukan sang kakak membelai, mengelus, dan memukul kendang. Kadek memperhatikan, hampir semua muda-mudi banjar menikmati penuh takjub pukulan kendang Tumangun.
Kadek ingat kakaknya sering diajak pentas ke desa-desa sebelah. Saat kakaknya sibuk pentas bersama kendang, Kadek yang merawat babi dan tegal mereka. Kadang kakaknya tidak pulang beberapa hari, karena selain pentas, Tumangun juga mengajari pemuda-pemuda desa lain untuk berlatih kendang.
Kadek juga ingin seperti kakaknya. Pernah ia meminta Tumangun mengajari memukul kendang, namun tangan Kadek malah terkilir. Atau irama pukulannya ngawur. Kadek pun menyerah, mengaku tak punya bakat menabuh kendang. Kakaknya hanya tertawa dan berkata, “Sudah, kamu tidak cocok dengan kendang, tapi otakmu pintar, lebih baik belajar dan menjadi guru.”
Itulah yang dilakukan Kadek, giat belajar dan mencoba melamar menjadi guru. Ia diterima menjadi guru SMP di ibu kota kecamatan, dan mulai sibuk mengajar. Sedang sang kakak semakin gemar membagi ilmu kendang, berkumpul bersama rekan-rekannya.
***
Kadek menyulut kretek. Ia perlu menentramkan pikiran. Menghela napas dengan bau kretek pekat, Kadek melepaskan beban, dan menghirup kembali kesadarannya. Ia teringat ayahnya, ibunya yang samar-samar selalu terbaring sakit, dan kilasan permainan kendang kakaknya. Ia memantapkan kembali niatnya membunuh Tumangun.
Baru seminggu yang lalu seorang guru datang padanya dengan tatapan serius, memaksa bicara di luar ruang guru. Ia ingat sekali karena setelah hari itu ia selalu gundah. Bimbang dengan keadaannya.
“Dek, kakakmu masuk daftar sebagai orang merah. Aku baru saja mendengar bapakku bicara dengan anak buahnya tentang penculikan orang-orang yang masuk daftar. Mereka akan dihabisi, Dek,” ucap Rai, rekan gurunya itu dengan cepat dan pelan. Desanya baru saja geger oleh berita dibunuhnya para perwira di Jawa sana.
Kadek menatap Rai lama, tak percaya. Ia memang mendengar pelaku-pelaku yang menghabisi perwira adalah sekelompok orang yang membuat gerakan liar. Dan pembersihan anggota kelompok sedang dilakukan besar-besaran, utamanya oleh militer. Kenapa kakaknya juga masuk daftar?
“Tapi kenapa, Rai? Kakakku kan tidak di Jawa?” tanya Kadek terbata. Ia masih tak percaya meski ia tahu kakaknya sering mengajar seni kendang dan seni daerah bersama sekaa lain, dan sekaa itu dikatakan ranting dari kelompok yang melakukan pembunuhan. Ia tetap tak percaya. Kakaknya baik, apa yang ia lakukan hanya berkesenian, menabuh dan berkumpul dengan rekannya sesama penggiat seni.
Rai hanya menggeleng. “Tak tahu kenapa Dek, tapi suasana genting sekali, semua orang bingung, tapi siap angkat parang,” ucap Rai bergegas meninggalkan Kadek.
Tergesa Kadek pulang, satu kelas yang masih seharusnya diajar ia tinggalkan. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kadek mengembara ke mana-mana. Apa yang harus ia lakukan? Kadek tahu kalau kakaknya diambil militer, kemungkinan selamat sangat kecil. Di Bali Barat terdengar kabar orang-orang yang diambil paksa oleh militer langsung digiring ke liang maut. Banyak mayat berserakan, lebih banyak lagi yang tak ketahuan di mana jazadnya. Ini membuat banyak keluarga resah. Kadek teringat lagi janjinya di semak perdu, untuk mengabenkan kakaknya bila ia lebih dulu meninggal.
Bakti apa yang bisa kulakukan pada kakakku bila aku tak bisa menemukan jazadnya, pikir Kadek sesampai di rumah. Keresahannya bertahan lama, mungkin selamanya, kalau saja sang kakak tidak datang dua hari setelah Kadek diberitahu kabar itu oleh kawannya.
“Bli, tiang dengar tentang daftar mereka yang dituduh orang-orang merah. Benarkah Bli ada di dalamnya,” tanya Kadek pelan.
Tumangun tidak menunjukkan wajah kaget, parasnya teduh seperti saat ia menenangkan Kadek selepas bapak mereka meninggal dulu. “Kalau memang sudah begitu jalannya, Dek, ya harus aku jalani,” jawab Tumangun tenang.
Kadek tidak mengerti. Mungkin ia memang tak mau mengerti. Ia diam saja saat kakaknya mulai bercerita tentang kegiatannya melatih seni, dan bagaimana kelompok yang disebut membunuh para perwira ini membantu mereka baik dari semangat atau dukungan materi. Tak ada yang salah dengan itu, lalu kenapa?
Namun pertanyaan demi pertanyaan yang timbul di benak Kadek akhirnya tenggelam dengan rencana Kadek. Rencana yang ia dapatkan dengan keyakinan akan baktinya pada sang kakak. Rencana untuk mengabenkan kakaknya dengan jazad yang utuh.
***
Hari itu panjang sekali bagi Kadek. Setelah terbangun dengan jantung berdebar dan keringat meleleh deras, ia mengatakan kepada dirinya bahwa ia bisa membunuh kakaknya sebagai bakti terakhir pada Tumangun. Kakaknya pantas menerima pengabenan yang layak dengan jazad utuh. Ia tak boleh kehilangan jazad Tumangun. Semakin dipikirkan, kian yakin Kadek dengan niatnya membunuh sang kakak.
Malam inilah malamnya. Kadek berusaha bersikap biasa saat kakaknya pulang. Mereka makan seperti biasa, berdua saja. Kakaknya tak pernah menikah sejak kekasihnya dulu dibawa kabur merantau, lalu dinikahi oleh sepupunya sendiri. Mereka berkisah seperti biasa. Namun Kadek tak bisa menahan gelisah di matanya.
Saat Tumangun pamit tidur duluan, Kadek hanya mengangguk, sembari menyalakan kreteknya, menanti malam turun lebih dalam.
Penerangan seadanya di kamar Tumangun sudah lama padam. Kadek berjingkat masuk ke kamar sang kakak. Menatap dada kakaknya naik turun dengan teratur. “Maafkan tiang Bli, ini yang terbaik, dengan begini tiang tetap bisa berbakti pada Bli,” bisik hati Kadek. Ia mengambil bantal dan membekap wajah sang kakak sekuat tenaga. Tumangun meronta dahsyat. Sekuat tenaga Kadek manahan perlawanan Tumangun, sampai ia berhenti meronta, lalu terkulai tak bergerak lagi.
Kadek duduk kelelahan dengan napas memburu. Air matanya mengalir deras, asin menyengat bibir. Antara perasaan lega akan mengabenkan kakaknya sebagai wujud bakti, ia tersedu menahan jiwa yang berkecamuk. Ia usap-usap kepala Tumangun. Ia peluk jazad kakaknya yang masih hangat itu penuh takzim. •
Dimuat di Bali Post, Minggu 29 Mei 2016