“Huuu…huuuu…,” tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ani selain menangis ketika pacarnya, Nino tahu bahwa ia sudah telat 2 bulan. Test Pack menunjukkan tanda Ani positif hamil. Ia dan Nino berada di kamar kost Nino, tempat mereka biasa melepas nafsu. Mereka baru 17 tahun, belum siap menjadi orangtua dan panutan bagi anak-anak mereka kelak, belum lagi gunjingan dari masyarakat. Namun apa daya? Mereka memutuskan membesarkan bayi ini dan meninggalkan sekolahnya.
Kejadian seperti itu, parahnya, cukup sering terjadi di masyarakat kita belakangan ini. Kehamilan Tidak Diinginkan atau sering disingkat KTD seperti yang diilustrasikan diatas merupakan salah satu rekaan adegan pasangan yang kebetulan mengalaminya. Kurang lebih 2,5 juta kasus KTD terjadi setiap tahunnya di Indonesia dan 20 % dari jumlah tersebut adalah remaja. Sungguh hasil yang memprihatinkan. Apalagi hal ini terjadi pada remaja atau generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus bangsa.
Menurut Dr. Oka negara, Kehamilan Tidak Diinginkan atau KTD bisa terjadi pada remaja ataupun orang yang sudah menikah. Penyebabnya sering justru karena ketidaktahuan dan kurangnya akses ke info yang benar terutama pendidikan seksual. Biasanya mereka yang sudah mengalaminya akan mengugurkannya atau melahirkannya tergantung usia kandungan. Dokter yang tengah menyelesaikan tesisnya di program magister kedokteran reproduksi inipun menuturkan keprihatinannya terhadap kasus-kasus yang terjadi sehubungan dengan KTD. Ia menyampaikan sebagian besar remaja mengalami KTD karena tidak tahu bagaimana cara mencegahnya. Hal ini diperparah dengan adanya pemecatan terhadap siswa yang sedang hamil oleh sekolah karena dianggap dapat mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
“Sebenarnya kalau ada kejadian seperti KTD ini sih, yang patut disalahkan adalah semua orang. Karena remaja mungkin mencobanya karena iseng namun sayangnya mereka tidak tahu cara melakukan yang baik dan benar sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi. Pemerintahpun tidak menyediakan layanan informasi yang baik dan gampang dicapai, makannya banyak kasus,” tutur Dwik-layouter Mag’z (majalah remaja) dengan tampang serius. Hal tersebut memang benar adanya. Sampai saat ini, dengan sekian banyak kasus Kehamilan Tidak Diinginkan yang terjadi, pemerintah tetap seakan buta tuli terhadap kasus yang sedikit demi seidikit semakin menggerogoti kejayaan bangsa ini.
Sampai sekarang, seperti yang sudah disampaikan Dr. Oka diatas, KTD kadang diselesaikan dengan cara digugurkan (aborsi) atau dilahirkan. Melakukan aborsi menurut kepercayaan sebagian orang memang merupakan sebuah dosa yang sama artinya dengan bila kita membunuh orang. Namun, dari segi medis dan bila dianggap perlu menurut Dr. Oka hal itu tidaklah salah. Karena aborsi kadang dilakukan pada orang yang menikah bila mereka gagal KB dan kondisi keuangannya tidak memungkinkan (banyak anak). Dalam konteks remaja, biasanya mereka melakukan aborsi jika kedua bakal orangtua tersebut merasa tidak sanggup membesarkan anak mereka dalam berbagai kondisi. Oleh karena itu aborsi dilakukan. Aborsi yang salahpun dapat menyebabkan kematian baik bagi janin maupun sang ibu. Maka pemerintah mungkin juga harus mempertingbangkan penyediaan layanan save aborsi. Karena jika dipikir secara logis, dengan adanya layanan tersebut, maka pemerintah akan dapat mengontrolnya daripada tidak mengetahui apapun namun tiba-tiba tersiar kabar adanya siswi meninggal karena aborsi yang tidak sehat.
Terkait dengan hal tersebut diatas, mungkin pendidikan seksual adalah hal yang layak dipertimbangkan dengan serius saat ini. Ketidaktahuan masyarakat khususnya remaja merupakan suatu hal yang dapat menjadi bumerang untuk menghancurkan bangsa ini nantinya. Hal tersebut dapat kita lihat secara nyata yaitu para remaja yang kedapatan hamil akan langsung dikeluarkan dari sekolah, disangka perempuan nakal dan untuk menutupi aib maka siswi itu dikeluarkan dari sekolah. Padahal kejadian tersebut dapat menghancurkan masa depan sang anak itu sendiri. Jika memang kehamilan itu hasil hubungan pasrah, jika direnggut dengan paksa (diperkosa)?? Sekolah akan sangat terlihat seperti penguasa haus kekuasaan yang tidak mengerti keadaan murid-muridnya. Alangkah baiknya bila kebijakasanaan sekolah diganti menjadi cuti hamil. Atau mungkin gampangnya lagi, diadakannya pendidikan seksual di sekolah sehingga segala informasi seputar seksual activity akan lebih terkontrol.
Jika seluruh siswa mengetahui bagaimana mencegah KTD, terjangkit penyakit menular seksual dan hal-hal lainnya, maka bilapun siswa itu memilih menjadi pelaku seksual aktif, ia dapat menentukan sendiri jalannya agar pilihannya sehat dan tidak merugikan sehingga KTD tidak lagi menjadi sebuah tragedi ironis yang terjadi akibat kesalahan kita semua hanya karena kurangnya informasi yang benar. (Lina P.W.)
*dimuat dalam Kulkul media HIV/AIDS pada rubrik Aksi edisi 23-Desember 2006