Ini adalah sedikit hasil ngobrol-ngobrol dengan Yuyun Ismawati, Penerima Goldman Prize- “Nobel” Lingkungan
“Kadang ya saya suka gemeeees banget sama orang- orang. Udah tau Buang Air Besar (BAB) di sungai merugikan masih dilakuin, udah tau buang sampah bikin susah teteeep aja buang sembarangan. Jadi bingung!” ujar Yuyun Ismawati- penerima Goldman Prize soal limbah.
Ke’gemes’an Yuyun- sapaan akrabnya tentu bukan tanpa sebab. Ia menuturkan hal yang paling membuatnya gemes justru sangat sederhana yaitu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap limbah. Banyak contoh dari permasalahan tersebut, salah satunya BAB di sungai. BAB di sungai terbukti sangat merugikan banyak orang. Organisme- organisme dalam sungai bisa mati keracunan karena kotoran kita mengandung bakteri E-coli dan banyak bakteri lainnya. Belum lagi bila masyarakat di sekitar sungai menggunakan air resapan (sumur) dalam kehidupan sehari- harinya. Dapat dipastikan mereka akan mengalami diare dan penyakit lain yang berawal dari bakteri. Limbah kotoran kita memang terlihat sepele, namun sebenarnya sangat krusial terutama dalam permasalahan air dan sanitasi, seperti yang disampaikan oleh Yuyun.
Kurangnya kesadaran masyarakat masalah limbah membuat Ibu yang menjadi single parent ini tergerak dalam bidang lingkungan hidup. Karirnya dimulai sebagai insinyur pemerintah untuk merancang suplai air di daerah pedesaan dan kota. Namun, ia merasa ketrampilannya akan lebih berguna untuk masyarakat kecil yang membutuhkan pengelolaan sampah. Maka bekerjasama dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Iapun mulai merancang pengelolaan sampah yang baik bagi masyarakat miskin.
Pengelolaan sampah tersebut berjalan dengan lancar. Hingga akhirnya di tahun 2000, Yuyun- sapaan akrabnya membuka LSM sendiri yaitu Bali Fokus untuk lebih menyebarkan system pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Di tahun 2003 lalu, Bali Fokus bekerjasama dengan Rotary Club memprakarsai program pengelolaan limbah padat di Gianyar.
“Selain masalah sampah, masalah sanitasi juga cukup penting. Kalau masyarakat sadar sedikiiiit saja, pasti masalah- masalah itu tidak akan sedemikian pelik,” ujarnya berapi- api menuturkan keprihatinannya. Menanggapi masalah limbah, wanita yang mengikuti pramuka sejak SD ini mengembangkan program pemilahan dan pembuatan kompos dari limbah rumah tangga yang dimulai tahun 2004 lalu. Melanjutkan kesuksesan program tersebut, Yuyun dilibatkan dalam pengembangan SANIMAS- program pengelolaan limbah pemukiman miskin kota. Tahun 2008 Ia mendirikan jaringan bebas racun Indonesia (Indonesia Toxics- Free Network/ ITFN) yang mengupayakan pencegahan merkuri, pestisida dan asap beracun pembakaran sampah secara luas.
Limbah sudah seperti makanan sehari- hari bagi Fellow Ashoka soal lingkungan ini. Hingga akhirnya ia mendapatkan ‘Nobel’ Lingkungan bertajuk Goldman Enviromental Prize. Yuyun tercatat sebagai orang Indonesia ke-3 yang mendapatkan penghargaan yang dimulai 1989 lalu. Di tahun 2009, terdapat 6 orang yang menerima penghargaan ini. Masing- masing: Yuyun Ismawati- Bali, Indonesia, Marc Ona Essangui dari Gabon (Benua Afrika), Maria Gunnoe, Bob White dari West Virginia (Amerika Utara), Olga Speranskaya dari Rusia (Benua Eropa), Rizwana Hasan dari Banglades (Asia), dan Hugo Jabini serta Wanze Eduards dari Suriname (Amerika Tengah dan Selatan). Keenamnya berhak atas hadiah masing-masing 150.000 dollar AS yang dianugerahkan di San Francisco Agustus lalu.
“Kalau udah soal limbah kasi saya saja. Makin kotor, makin bau, saya makin suka,” canda ibu beranak 2 ini sembari tertawa riang. Iapun menuturkan masyarakat seharusnya sadar terhadap masalah limbah khususnya air dan sanitasi karena akan berdampak besar dalam kehidupan sehari- hari. “Orang- orang lumpuh saja bisa peduli, kenapa kita tidak?” tambahnya lagi mengakhiri wawancara. (linapw)
koq ga ada posting tentang berita bahagia nich? hehe… kapan makan2nya? masa eka aja yang ditraktir 😛
mbokya pas motret leading dulu “Cheeeerrrssss!!” gitu dong lin bilangnya….. ;))
iyaaah kan biar natural tiik… wkkwkwkwkwk ;p