Grimbly sue merapikan bajunya. Ia punya alasan untuk merapikan bajunya. Bagaimanapun ini hari besar. Banyak yang akan menjadi saksi kesuksesannya selama ini. Ah, kemejanya yang paling bagus sudah rapi. Ia mematut matut dirinya lagi di depan cermin. Apa lagi yang kurang? Pikirnya. Ya ya ya, ia lalu mengambil sebotol parfum yang isinya setengah habis lalu menyemprotkannya di titik titik yang dulu dicontohkan orangtuanya. Bawah daun telinga, di pegelangan tangan. Sebagai penghabisan ia menyemprotkan saja parfum itu di bagian depan kemejanya. Yap ia sudah siap. Tersenyum untuk terakhir kali pada pantulannya sendiri dan melangkah keluar kamar.
Wangi supnya yang melegenda tercium di seluruh ruang tamu, tidak heran karena dapur memasaknya ada persis di ruangan sebelah ruang tamu, hanya dipisahkan oleh lorong kecil berpintu. Ia mempunyai dua orang pekerja untuk memasak berpanci panci sup yang diakui adalah resep rahasia keluarga Sue. Dua pekerja lainnya memotong dan membumbui isian sup. Grimbly Sue adalah pembuat sup paling sukses di kota kecil tempat kami lahir dan hidup.
Kota ini memang sangat kecil dan bisa dibilang miskin. Kami biasa makan makanan seadanya, roti dengan mentega atau bubur gandum hambar untuk makan pagi, bubur kacang polong dan roti keras untuk makan siang. Tapi makan malam kami selalu ditunggu. Saat itulah sup hangat berdaging buatan Grimbly Sue akan menghangatkan malam kami yang dingin dan hambar. Kami menyenangi sup di penghujung hari bukan tanpa alasan. Pagi hari kami sudah bekerja, bekerja amat keras sehiingga beberapa orang bahkan tidak bisa merasakan badannya lagi saking nyerinya.
Sebagian dari kami adalah buruh bangunan di kota sebelah. Jaraknya memang tak trlalu jauh, namun cukup membuat pegal dan lapar bila sedang lelah. Kota sebelah cukup kaya, yang bekerja sebagai buruh bangunan senior pasti bisa membeli makanan di sana yang jelas lebih mahal tapi lebih enak. Sedangkan buruh buruh yang tidak terlalu beruntungmemilih menyimpan uangnya untuk keperluan lain dan pulang ke kota saat makan malam. Mereka biasa pulang dengan perut keroncongan. Nah saat itulah sup buatan Grimbly Sue selalu terbayang.Karena para ibu juga bekerja sehingga tidak ada yang memasak makanan. Makan pagi dan siang dibuat ekstra cepat, makan siang akan dibungkus untuk dimakan di tempat kerja. Mereka bekerja ekstra untuk menyekolahkan akan-anaknya, biaya sekolah mahal sekali. Orang orang tua ini berasal dari masa yang berbeda denganku. Awalnya mereka hidup hanya sederhana. Cukup makan dan minum. Begitu masuk orang orang dari pusat menyatakan anak anak harus bersekolah mereka bingung. Untuk apa sekolah toh mereka yang tidaksekolah tetap bisa makan. Namun semuanya berubah sejak Grimbly Sue pulang ke kota kami.
Grimbly Sue pergi dari kota kami sejak dia masih kecil, ikut orangtuanya sekaligus bersekolah. Lama tak terdengar kabar hingga beberapa bulan yang lalu ia kembali dan terlihat sangat bagus dalam setelan jas dan dasi licin dan terlihat mahal. Itu karena bersekolah, bisik orang-orang. Ya ya, kau lihat potongan dan rambutnya yang selicin sutra? Itu juga berkat sekolah. Begitu bisik bisik bernada bangga bahwa ada seseorang dari desa kamiyang sudah sekolah dan rambutnya selincin sutra. Dengan senyum pamer gigi, Grimbly Sue beberapa malam berturut turut membagikan sup dengan daging yang hangat dan nikmat, bahkan kami anak-anak kecil dibagikannya juga. Enak sekali, baru kali ini aku makan daging selain unggas. Setelah beberapa malam yang menyenangkan itu, dibukalah semacam kedai milik Greasy Sue yang hanya menjual sup di malam hari. Sup hangat dan gurih nikmat itu, banyak yang antri untuk membelinya. Tidak mahal, tidak, tapi orang orang merasa kini sangat perlu untuk menyekolahkan anaknya agar bisa berjualan sup seenak dan seramai Grimbly Sue. Selain itu rambutnya yang selicin sutra juga dambaan tiap ibu pada anaknya.
Maka jadilah dari bulan lalu para orangtua berbindong bondong bekerja untuk menyekolahkan anaknya, dan lebih nikmat lagi rasa sup Grimbly Sue saat mereka pulang kerja dan kelaparan.
Semakin laris supnya, sedikit demi sedikit semakin meningkatlah harga sup ini. Perubahan pun kami lihat pada rumah Grimbly Sue yang dulu saja sudah bagus, kini semakin bagus dengan dekorasi keramik pada dindingnya, bergambar wajah tersenyum sang pemilik.Harga tidak menjadi masalah bagi warga desa yang sudah sangat menikmati tiap tetes sup daging yang dihidangkan Gribly Sue. Orang desa tetap bisa bekerja sambil menikmati sup nikmat di malam hari, dan menabung untuk sekolah anaknya.
Gribly Sue melangkah ke depan rumahnya. Ini hari besarnya, di kedaikecilnya, yang tiap malam dipenuhi penduduk, akan datang seorang tamu mencicipi sup kebanggan desa, karena juga membuat desa ini terkenal. Setelah mencicipi sup, si orang ini akan menuliskan atau menyorotkan kamera atau bercerita tentang kedahsyatan sup ini. Penduduk tidak terlalu peduli karena yang penting melihat seseorang dari kota lain datang ke desa tersebut untuk memcoba sup desa mereka saja sudah menyenangkan hati.Ya sup desa mereka, sebegitu dalam rasa memiliki masyarakat terhadap sup nikmat buatan Gribly Sue.
Tak berapa lama menunggu, datanglah si tamu yang ditunggu. Sang tamu,sama dengan Gribly Sue, gemar tersenyum lebar pamer gigi giginya yang besar. Perutnya yang buncit bergeraknaik turun saat ia jalan, memasuki kedai Gribly Sue. Penduduk menikmati tiap desah dan hela nikmat sang tamu memuji muji sup buatan Gribly Sue. Ia mungkin sudah menjadi semacam pahlawan di desa kami, karena beberapa penduduk bahkan menangis penuh haru saat si tamu menjabat tangan Gribly Sue di penghujung kedatangannya datang mengatakan akan kembali sembari melambai pada penduduk dengan senyum lebarnya.
Lepas dari hari besar dengan tamu berperut besar itu, hari hari berjalan seperti biasa.Seperti biasa penduduk memenuhi kedai Gribly Sue di malam hari sepulang kerja. Seperti biasa orang orang tua bekerja mati matian demi menyekolahkan anaknya agar berambut licin dan berperut buncit seperti Gribly Sue. Yang tak biasa hanyalah penduduk mendengar lebih banyak kematian di bulan bulan ini. Lebih banyak daripada bulan bulan yang lalu. Memang akhir akhir ini cuaca tidak menentu, apalagi karena tambang-tambang mulai dibuka, yang artinya lebih babyak pekerjaan untuk orangtua kami, namun lebih buruk juga lingkungan kami tinggal.
Beberapa bulan lagi aku akan memulai sekolahku yang pertama. Bersama teman-temanku kami menikmati beberapa bulan sebelum kami masuk tempat yang kata orang orang membosankan, tapi tak apalah, yang penting bisa seperti Gribly Sue. Berambut licin, dan memiliki senyum lebar. Oh bicara tentang senyum, senyum Gribly Sue juga berbeda dengan senyum orang-orang di sini pada umumnya. Senyum orangtuaku bisanya kecil dan penuh harap. Mungkin marena perut mereka selalu lapar. Jadi otot yang menggerakkan tubuh mereka hanya aktif sebagian. Kalau Gribly Sue, kuperhatikan, senyuman tak pernah surut dari wajahnya, selalu lebar dan menunjukkan kelebihan makan.
Sudah lewat beberapa tahun, kami masih memakan sup Gribbly Sue tiap malam, karena itulah satu satunya daging di hari kami. Memang kadang ada juga unggas yang kami makan, itupun bila kami beruntung, benar benar beruntung. Menemukannya di jalan atau menangkapnya di hutan yang letaknya jauh.Nah kan, hanya kalau kamu beruntung dan berusaha keras saja kamu bisa memakan daging, itupun daging unggas. Tidak seenak daging dalam sup buatan Gribbly Sue. Angka kematian masih tinggi. Juga kehilangan anak-anak. Tapi orangtua kami tak terlalu khawatir, sudah ada yang mengurus itu semua, kata mereka. Fokus saja masuk sekolah dan jadi seperti Gribbly Sue, tambah mereka lagi. Kami menurut, tanpa pertanyaan, kami pergi keluar dan bermain lagi. Mungkin kami sudah menjadi seperti orangtua kami. Tidak banyak berpikir, kerja dengan otot saja, angkut angkut angkut. Seperti buruh sejati.
Suatu hari desa ini dikejutkan oleh pembongkaran kuburan desa yang letaknya di pinggir desa. Entah siap yang membongkar kuburan kuburan itu, mayat mayat yang dikubur lusa lalu itu pun sudah tak ada. Diseret anjing liar dibawa ke hutan kata petugas petuga dengan seragam abu abu terang itu pada masyarakat desa, khususnya pada Gribbly Sue yang sangat mereka sayangi. Tidak usah khawatir kata mereka, kami akan aman.
Tidak ambil pusing terlalu larut, aku dan teman-temanku tetap bermain seperti biasa. Hari ini taman bermain kami dijadikan tempat berkumpul orang-orang tua. Mereka membicarakan sesuatu tentang persiapan sekolah. Kami anak anak disuruh bermain di sudut lain kota. Aku berlari ke lorong dekat rumah Gribbly Sue. Teman-temanku mengikuti. Kami menendang nendang bola sambil tertawa. Tidak serius, tidak. Kami hanya bermain main dengan riang, sebelum masuksekolah. Lalu si bodoh Bryan menendang bola kelewat keras dan memecahkan kaca dapur Gribbly Sue. Wangi sup menyebar di lorong gang. Kami menunggu dalam diam dan berkeringat.
Gribbly Sue keluar dengan tiga orang juru masaknya, membawa karung karung besar. Sambil tersenyum lebar ia berkata, “Well, well, well, lihat siapa yang akan jadi daging dalam sup malam ini,” aku berusaha tertawa mendengar leluconnya saat kusadari dia serius dan karung karung besar itu memang untuk kami berempat.
what a twisted plot!
beri sedikit clue tapi dibuat tak terlalu dihiraukan.
pemicu klimaksnya bola, lalu orang bertiga membawa karung menjadi penutup.
haha, belum hilang rasa merindingku.
yah, namanya juga usaha 🙂