Cumi yang Nikmat, Berkuah Hitam Pekat

squid sketchSuatu sore aku dikejutkan dengan sebuah mangkok. Di meja makan. Mangkok dengan kuah hitam pekat dan bau yang menggugah air liur untuk berimajinasi.

Tumben. Pikirku. Beberapa bulan aku tinggal di Manyamba, sebuah desa di Majene, Sulawesi Barat untuk mengajar, baru sore ini aku melihat mangkok dengan kuah hitam pekat dan bau nikmat ini. Sambil menunggu kakek ‘baca’baca’ (istilah sini buat berdoa), aku mulai bisa memperjelas penglihatan perutku tentang isi mangkok tersebut. Isinya Cumi-cumi! Selesai kakek baca-baca, kami pun makan dengan lahap.

Ini terjadi di suatu sore, pada akhir bulan Mei. Dan terjadi lagi keesokan harinya, keesokan harinya dan keesokan harinya. Kurang lebih selama seminggu aku makan Cumi-cumi nikmat dengan kuah hitam pekat. Ternyata para Cumi ini memang sedang membanjiri perairan kami. Tak heran ibu angkatku memasak Cumi-cumi hampir tiap hari. Seperti di surga rasanya :p

Para penangkap Cumi biasa berasal dari nelayan yang tinggal di sekitar pesisir (yaiyalah!). Daerah Karema kerap menjadi tempat berkumpulnya Cumi-cumi hasil tangkapan nelayan. Karena salah satu tetangga ada yang asalnya dari Karema, maka kami pun pergi ke Karema di suatu hari yang penuh Cumi. Maksud dan tujuan kami jelas – memakan Cumi dan menambah kadar kolesterol dalam darah.

Puluhan Cumi-cumi dibakar dengan perapian alami dari bambu, memasaknya butuh waktu cukup lama sekitar 30 menit, tapi penantian itu sangat tidak masalah dengan kenikmatannya, Cumi-cumi bakar dengan bumbu pedas limau. Hap hap hap! Makan jangan bersuara!

Selain di Karema, kami biasa mendapatkan Cumi-cumi pada hari pasar (dua kali seminggu). Kadang-kadang bahkan ada anak nelayan yang keliling kampung jualan Cumi-cumi. Harganya? Cuma sepuluh rebu untuk tujuh ekor seukuran telapak tangan orang dewasa. Nyammm….

Banjir Cumi-cumi kurasakan di akhir bulan Mei dan selama bulan Juni. Tapi di bulan Juli pun kami masih sering mengunyah tentakel-tentakel kenyal Cumi-cumi. Ah… aku jatuh hati. Pada Cumi-cumi yang mengisi tiap hariku di Majene.

Sekali, Sudah Itu Lagi #Laut

Semerbak udara asin, deburan ombak yang bersahaja, lembutnya pasir pantai saat merayap di telapak kaki….

Ah, aku kangen laut.

Kangen laut bukan barang baru bagiku. Bukan sekali dua kali kangen laut melanda. Namun sering sekali. Mungkin bisa dibilang tiap bengong, pikirannya langsung ke laut (nahlo).

Di Menjangan. pic by Viar

 

Padahal Bali itu letaknya di tengah laut, kok bisa masih kangen laut? Yah kerjaan dan kemalasan menyebabkan timbulnya penumpukan hal yang harus dilakukan sehingga kadang (dan seringnya) waktu untuk ke laut, bermain-main, bersenda gurau sambil ngambang di permukaan laut terpangkas sudah. Continue reading Sekali, Sudah Itu Lagi #Laut

Bersin

Bos besar berperut buncit itu bensin berulang kali. Haaattccchhooow!!! Serunya tiap kali ia mengeluarkan hajat ingusnya. Bunyinya saja membuat para pendengar merasa hidung masing-masing juga gatal. Belum lagi saat ia menandaskan lendir-lendir kuning yang memenuhi hidungnya. Uh, tidak ada yang tahan dengan bunyinya, menyayat tapi sekaligus terdengar marah, licik dan kelam.

Bersin bersin si bos disinyalir datang beberapa saat yang lalu. Awalnya tidak terlalu parah, hanya meler-meler yang hilang timbul. Lama kelamaan bersin itu menguat, tanpa ampun ia serang si bos hingga hilang kata. Semua anak buahnya bingung, ada apa dengan si bos. Si bos yang termashyur dengan diamnya yang berwibawa kini jadi berangasan karena bersin yang semakin jadi. Ia menjadi tidak tenang dan kerap salah langkah. Serba salah, para pengikutnya menyimpulkan.

Suatu pagi si bos merutuki semua yang lewat di depannya. Sekretarisnya si Budiwati merasa prihatin dengan kebiasaan baru si bos. Selain membuat panas kuping, semua pegawai yang dirutuk bos langsung angkat kaki dari kantor dan tak pernah kembali. Budiwati, tergerak dengan kepeduliannya terhadap si bos berniat melaksanakan sebuah tugas mulia, menanyakan apa yang terjadi dan mengobati so bos. Berharap semuanya akan berjalan lancar, Budiwati bergerak menuju si bos. Saat hendak menanyakan apa yang terjadi, si bos mulai merutuki wanita yang dua puluh tahun sudah mengabdi di kantor itu.

“Kerja tidak becus minta naik gaji, sukanya protes saja, sekarang mau apa mendekatiku? Mau minta naik gaji? Doa dulu sana tujuh turunan, itupun belum tentu kuberi,” rutuk si bos, cepat, tanpa ampun. Budiwati, yang sudah membulatkan tekadnya, tetap mendekati si bos, meski hatinya tersayat-sayat. Dengan cepat ia mengatakan bahwa kantor menjadi seperti kantor mati karena rutukan si bos yang tidak benar pada para pegawai. Si bos jadi semena mena hanya karena bersin, dan tidak ada yang tahan. Kemudian hening. Si bos bersin lagi, keheningan terpecah, Budiwati pergi dari kantor, selamanya. Tabungannya cukup untuk menghidupi Budi untuk beberapa saat sebelum mencari bos baru yang lebih manusiawi. Ditolehnya ke belakang, si bos memandang kosong ke depan. Entah menahan bersin, entah merenungi ucapan Budiwati.

Esoknya, karena kangen dengan suasana kantor, Budiwati pergi ke penjual sup kepala ikan dekat kantor, tempat para pegawai kerap makan siang. Ia pergi saat jam makan siang, pekerjaan baru belum ia temukan, dengan santai ia memesan satu porsi kepala ikan sebelum mencari tempat duduk. Ia tak terkejut banyak para pegawai yang juga masih makan siang di sana. Selain memang masakannya enak, para pegawai juga mungkin memang kangen dengan suasana kantor. Setelah melepas kangen dengan beberapa pegawai dekat dan menyesap sup kepala ikan dengan lahap, para pegawai mulai berdesas desus.

“Itu si bos katanya kena ‘sakit’ hutan yang mau digusurnya, padahal masyarakat sana sudah wanti-wanti tuh,” ujar Bunga yang memang terkenal biang gosip. Tapi Budiwati cukup kaget karena semua pegawai lain menimpali dengan suara-suara yang mirip.

“Iya tuh, belum lagi tabiatnya merendahkan pegawai, masak dituduh ini itu, ga bener pikiran si bos, kayak belum dewasa aja,” rutuk yang lain. Tahulah Budiwati bahwa bos mereka kena semacam ganjaran karena berniat menerabas hutan suci tempat masyarakat bernaung dan juga bernapas. Ia malah acuh tak acuh dengan peringatan masyarakat yang disampaikan dengan berbagai cara. Juga karena si bos suka meremehkan pegawai. Pernah pula ia menuduhkan berbagai hal ke pegawainya karena kesal didemo masyarakat. Boro-boro disukai pegawai dan rakyat, sekarang pun tidak ada yang mau kerja dengannya, percuma juga punya uang banyak, pikir Budiwati takzim.

Sayup sayup terdengar suara bersin si bos di gedung sebelah. Para pegawai saling berpandangan sambil angkat bahu lalu lanjut makan kerupuk.

Skripsi, Benarkah Menyeramkan?

Keringat dingin menetes sebutir demi sebutir, telapak tangan mulai basah dan lengket, satu periode wisuda sudah terlewati, sedang periode depan jaraknya cuma tinggal sejengkal, aku menelan ludah tanda pasrah….

Itu cuma secuplik kisah kasih di kampus kuning tempatku menuntut bangku, eh ilmu. Lebih lanjutnya sih di postingan semi curhat tentang perjalanan menuntaskan skripsiku ini.

Bosen yah mosting cerita-cerita berat, kali ini aku mau cerita hal temeh remeh yang sebenarnya ga penting-penting banget untuk diceritain. Awalnya sih kupikir ngga penting, tapi begitu merasakannya, mitos ini menjadi penting, terutama untuk mahasiswa semester akhir (bahasa halus untuk dua digit) yang udah musti nyelesein skripsi.

Ga usah dijelasin lagi kan skripsi itu apa? Kita udah pada tahu kalo mau lulus dengan bergelar sarjana, yah skripsi atau tugas akhir menjadi penting (sangat penting)! – akhirnya dijelasin juga deh. Banyak orang yang menakut-nakuti mahasiswa tentang skripsi. Terutama kakak kelas yang ga lulus-lulus (biar ada temen kali yah :p). Katanya mengerjakan skripsi itu lebih susah daripada bikin candi Prambanan yang nyaris selese dalam waktu semalem (ini apaan sih). Aku sebagai orang yang optimis tentu ga percaya, come on, bikin skripsi aja loh, anggap aja bikin paper panjang, cuma minimal 50 halaman doang. Tapi kayaknya aku kualat.

Dua periode wisuda akhirnya lewat dengan gemilang lantaran terlalu menggampangkan skripsi. Kirain cuma kayak bikin kerjaan biasa yang dikebut semalem beres. Weleh, jangan harap deh, minimal 3 malem baru beres, itu belum kalo pembimbing sok sibuk alias susah ditemui (kok jadi ikut nakut-nakutin). Tapi tenaaang! tulisan ini ga berniat sama sekali untuk bikin nyali mahasiswa yang sedang nyari-nyari bahan skripsi ciut, tulisan ini bertujuan untuk membesarkan hati dan mengobarkan semangat, cuma yah latar belakangnya isi curhat dulu. hehe.

Ternyata bikin skripsi itu emang harus dimulai dari niat. Niat lulus ngga? Kalo udah niat lulus, niat nyelesein skripsi ga? Kalo niat lulus doang tapi nyelesein skripsinya setengah-setengah, ya wassalam aja, mending ngemil kacang di pojokan. Hal ini, aku alami sendiri. Lulus sih niat, segede arca lagi, cuma bikin skripsinya itu enjot-enjotan. Sekarang liat temen yudisium, kebakar pengen lulus, semangat bikin skripsi, udah kelar dua halaman, eh ditinggal maen lagi, ya kapan selesainya.

Banyak godaan yang akan datang pada saat kita bikin skripsi. WAJAR! Kayak kalo kita nahan ketawa, eh semua hal malah jadi lucu. Saat aku bikin skripsi kemarin, tiba-tiba banyak kerjaan datang, honornya pun sangat menggiurkan, karena diambil jadinya wisuda mundur dulu (meski dapet jalan-jalan sih, he). Sampe ada seorang kawan yang rada males (sama) marah-marahin aku, katanya biar wisuda bareng, dan bener deh dia wisuda duluan, beta sampai tercengang!

Padahal, waktu skripsi mulai dikerjain, ga lebih dari seminggu tuh kelar sampe bab IV,  cuma emang dasar males, pembimbing ga dikejar-kejar, ya lama lagi terdiam di kampus. Akhirnya dengan niat membara, skripsi kelar, kejar pembimbing. Kejar sampe dapet, terorin mereka satu-satu, sampe bosen liat muka kita. Hitunganku, setelah skripsi kelar dan bimbingan rajin, ga sampe sebulan, aku ulangi, GA SAMPE SEBULAN, itu skripsi diACC!

Setelah ACC semua lancar, ujian pun tidak sengeri yang dibayangkan, malah terkesan santai. Para penguji cuma ingin tahu apa kita emang ngerjain itu skripsi sendiri dan siapkanlah snack yang mumpuni dan cukup manusiawi karena itu mengalihkan sejenak pikiran para penguji dari melibas kita saat ujian.

Jadi niatkanlah dirimu wahai anak-anak muda harapan bangsa (ini apaaaa lagi). Kalo kita lulus cepet, ga cuma umur yang kita hemat, tapi juga duit dan kesenangan. Kobarkan niat dan tekad! Uhuuuy *lagi nunggu wisuda doang* 😀

 

Para Pelopor Perubahan Dari Gunungkidul

Perubahan bisa dilakukan dimanapun, dan kapanpun.

Demikian juga yang terjadi di Gunungkidul. Setelah berOoooh dan Aaaaaah dengan kuliner dan alamnya dalam Jelajah Gizi, kami masih juga diberi kejutan tentang sosok-sosok pemberi inspirasi di Gunungkidul.

Udara siang itu cukup panas, membuat gerah, beberapa peserta mengipasi lehernya dengan kertas seadanya. Kami berada di desa Sambirejo.

Desa ini terkenal sulit air. Seperti yang dituturkan sebagian masyarakatnya, untuk mencari air bersih mereka harus menempuh jarak sejauh 2km dengan medan yang berat pula. Sebenarnya masyarakat desa cukup terbiasa jalan jauh, namun sangat merepotkan untuk mengambil air dengan jarak sejauh itu dan kebutuhannya cukup banyak. Dulu ada sumber mata air dekat desa, namun semenjak gempa sumber mata air jadi kering dan tak bersahabat. Desa dilanda kekeringan tanpa air yang dapat dimanfaatkan dengan segera. Namun segalanya berubah saat bidan Liestyani Ritawati memulai programnya untuk membuat sumur bor demi ketersediaan air bersih di desa ini.

pompa air di rumah bidan Lies

“Untuk ibu hamil, air bersih sangat penting, tidak bisa bergantung pada sumber air yang jauh, telat sedikit ibu anak bisa jadi korban,” ujar bidan Lies, sapaan akrabnya, dengan prihatin. Iapun menuturkan kekurangan air bersih di desa Sambirejo bisa menyebabkan terjadinya gizi buruk, diare, semua serba kotor, kebersihan dan kesehatan tidak terjaga.

Berangkat dari itulah bidan Lies didukung suaminya berusaha membuat sumur bor di daerah Sambirejo ini, membuatnya juga tidak mudah. Untuk sebuah sumur bor saja bidan Lies harus mengebor hingga kedalaman 80m baru keluar air. Kini warga Sambirejo mencontohnya untuk membuat juga sumur bor demi air bersih yang sangat penting untuk hidup. Berkat itu pula bidan Lies mendapatkan penghargaan sebagai bidan dengan program terbaik Srikandi award 2009, sebuah apresiasi bagi bidan-bidan pemberi inspirasi.

Di desa Bobung, ada pula pemberi inspirasinya, seorang pembuat topeng bernama Sujiman. Membuat topeng dari tahun ’73, bermula dari belajar-belajar sendiri, lalu mendapat kesempatan ikut pelatihan. Kini Sujiman menjadi pemasok topeng batik dan kerajinan di beberapa toko kesenian termasuk toko yang ia jalankan dirumahnya. Ia juga kerap mengirim karyanya keluar negri. Semangat Sujiman untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal berangkat dari pengalamannya menjadi perantau.

“Saya tau susahnya jadi perantau. Makanya saya mau buka lapangan kerja, supaya masyarakat tak usah pergi jauh-jauh, biar membangun desa saja,” ujar Sujiman sambil tersenyum. Awalnya usaha yang ia jalankan kecil-kecilan saja, hingga kini ia memiliki 70 karyawan dengan produksi sekitar 3000 pieces dan omset puluhan juta perbulan.

membatik. salah satu proses pembuatan topeng
Sujiman dan dua topeng klasik kesayangannya

Sujiman dapat dikatakan pelopor pembuatan topeng batik di sini. Ia masih mengerjakan topeng-topeng pesanan pembeli hingga kini, terutama topeng klasik, karena memang nilai jualnya beda. Pemilik koperasi Karya Manunggal ini menyatakan pernah ada topengnya yang ditawar hingga 15 juta rupiah.

“Topeng klasik, saya suka jadi saya gak lepas, paling kasi pinjam anak ISI saja untuk pentas,” jelasnya sambil tersenyum. Di desa Bobung kini hampir semua keluarga memiliki pengrajin topeng, jelas sebagian merupakan andil Sujiman sebagai pelopornya.

Tentu masih banyak lagi pelopor perubahan di tempat-tempat lain. Namun bidan Lies dan Sujiman merupakan pelopor yang berjasa besar dalam pembangunan di Gunungkidul. Semoga nantinya muncul lagi pelopor-pelopor perubahan di masa depan. Mungkin kamu salah satunya?

foto dan teks: linapw