Wisata Makam Toraja, Dari Gua Romeo Juliet Sampai Pohon Besar Anak
Bosan dengan pantai? Mari sejenak lepas penat di pegunungan. Kabut yang turun di pagi hari, udara yang relatif sejuk, dan jalanan menanjak menantang adrenalin barulah sedikit dari bejibun pengalaman yang bisa kita rasakan. Seperti juga yang kudapatkan di Tana Toraja. Daerah yang letaknya di tengah perbukitan ini bisa ditempuh selama 8 jam perjalanan dengan bus dari Makassar. Bertempat di Celebes atau, kini, Sulawesi nama pulaunya.
Tana Toraja cukup dikenal di Indonesia, mulai dari upacara adatnya, misal upacara kematian, biasa dikenal dengan Rambu Solo yang benar-benar megah, Rumah tradisional yang disebut Tongkonan dan keadaan alamnya benar-benar membuat kita menyadari Indonesia memang kaya.
Juga sangat menarik ialah makam-makam di Toraja yang berbeda dengan tempat kebanyakan di Indonesia. Karena keunikannya ini, beberapa makam di Toraja menjadi tempat wisata yang terkenal dan dijadikan suguhan untuk para wisatawan baik nasional maupun internasional. Demikian pula denganku, berjudul jalan-jalan sekaligus ingin mengenal Toraja, tentu aku disuguhkan wisata makam oleh kawan yang memang asli anak Toraja.
Di Toraja, wisata makam sudah biasa dilakukan. Makam yang bisa dikunjungi pun banyak mulai dari Kete’Kesu, Londa, Lemo dan makam anak seperti Kambira. Karena kawanku ini tinggal di kawasan Rantepao, sekitar 10km dari Makale-ibukota Toraja, maka agar lebih mudah bepergian kami menyewa sebuah motor.
Kete’Kesu menjadi perhentian pertama kami. Terletak di tenggara Rantepao, di dekat pintu masuk kami bisa langsung melihat jejeran Tongkonan lengkap dengan lumbung padinya. Di sekitarnya juga terdapat beberapa bangunan megalith yang menambah indah pemandangan. Di belakang jejeran Tongkonan inilah terdapat makam di tebing-tebing yang kita harus melalui jalanan menanjak dan menurun untuk mencapainya. Sepanjang jalan kami melewati tengkorak-tengkorak, entah tulang belikat, betis, atau tangan. Juga tengkorak kepala yang jumlahnya sangat banyak. Berserakan begitu saja, di jalanan menuju puncak makam. Peti yang menampung tengkorak tersebut sepertinya jatuh atau memang sudah lapuk dimakan usia. Menyebabkan seluruh isinya berserakan. Lucu (dan mirisnya) bahkan ada sebuah tengkorak kepala yang di dandani seolah sedang merokok dan habis menyesap beer.
Tiba di puncak, terdapat sebuah gua yang sangat gelap, tempat warga yang meninggal disemayamkan. Di depan gua tersebut ada juga peti-peti yang berserakan serta barang-barang milik orang-orang yang telah tiada. Orang-orang Toraja tidak ingin mengotori tanah. Karena mereka percaya tanah adalah sumber kehidupan. Karena itulah sebisa mungkin, mereka tidak menguburkan mayat di dalam tanah. Sebagai gantinya mereka meletakkan jasad-jasad itu di peti dan digantungkan menurut garis kekerabatan. Ada juga yang diletakkan di tebing-tebing dan gua.
Di pemakaman Londa, lebih ekstrem lagi. Kita dapat masuk ke dalam guanya bahkan ada abang-abang yang siap mengantar dengan lampu minyak. Pemakaman yang satu ini jelas lebih ramai daripada Kete’Kesu. Saat kami ke sana saja ada universitas yang sedang studi tur. Di pintu masuk gua terdapat tau-tau (patung-patung) si orang meninggal. Tau-tau biasa dibuat sebagai representasi si orang yang meninggal. Namun karena harganya agak mahal, kebanyakan yang menggunakan tau-tau hanyalah orang berkasta. Tau-tau juga dijadikan souvenir-souvenir kecil dengan harga beragam untuk para tamu. Di dalam gua, berjejer dan berserak tengkorak-tengkorak serta bunga dan foto.
Uniknya di sini ada dua tengkorak yang ditaruh di tempat berdekatan dan dikalungkan bunga. Orang sini menyebutnya Romeo dan Julietnya Londa karena mereka juga mati dengan kisah cinta yang menggenaskan karena kedua keluarga tidak setuju. Entah benar atau tidak, karena menurut si abang, cerita itu sudah ada sejak dulu. Yang pasti cerita dan tengkorak itu sangat legendaris, bahkan ada beberapa tamu yang berfoto bersama tengkorak si Romeo dan Juliet. Jalan dalam gua sangat menantang, di beberapa spot kami harus merangkak (benar-benar merangkak ya ini) untuk dapat melewati jalan yang tingginya hanya sebetis saya. Hanya sekitar 3 menit merangkak, baju dan celana sudah belepotan tanah basah khas gua, wheew, 3 menit terlama dalam hidup saya, tapi itu semua terbayar dengan pengalamannya.
Meski agak terganjal dengan komersialisasi makam di Toraja, aku cukup menikmati pemandangan menuju pemakaman karena pasti ada pepohonan hijau dan udara sejuk sepanjang jalan. Di Lemo, pemakaman di tengah bebatuan curam, kami melihat pemandangan yang kurang lebih sama. Desa, lalu makam. Dan juga kadang ada penjual souvenir. Tidak heran karena memang makam-makam itu ada di masing-masing kampung. Kalau memang ingin berwisata makam, tidak lengkap tanpa mengunjungi makam anak-anak, Kambira.
Kambira, sebuah pohon besar yang memiliki banyak liang yang ditutup dengan papan sehingga menyerupai jendela. Banyaknya liang itu memperlihatkan banyaknya anak yang ditanam di sana. Kambira terletak di tengah rerimbunan pohon bambu dan sangat rindang. Anak-anak yang meninggal sebelum giginya tumbuhlah yang disatukan dengan pohon besar ini. Mengapa pohon? Karena getah pohon dipercaya sebagai simbol susu ibu dan pohon sendiri menentramkan sehingga dipercaya sebagai tempat istirahatnya anak-anak ini. Kambira letaknya 19 km dari Rantepao di kabupaten Sangalla.
Selain wisata makam, Tana Toraja juga menyuguhkan berbagai keindahan alam serta keunikan budayanya. Cara satu-satunya apalagi kalau bukan langsung ke sana? Selamat menabung! 🙂