Bos besar berperut buncit itu bensin berulang kali. Haaattccchhooow!!! Serunya tiap kali ia mengeluarkan hajat ingusnya. Bunyinya saja membuat para pendengar merasa hidung masing-masing juga gatal. Belum lagi saat ia menandaskan lendir-lendir kuning yang memenuhi hidungnya. Uh, tidak ada yang tahan dengan bunyinya, menyayat tapi sekaligus terdengar marah, licik dan kelam.

Bersin bersin si bos disinyalir datang beberapa saat yang lalu. Awalnya tidak terlalu parah, hanya meler-meler yang hilang timbul. Lama kelamaan bersin itu menguat, tanpa ampun ia serang si bos hingga hilang kata. Semua anak buahnya bingung, ada apa dengan si bos. Si bos yang termashyur dengan diamnya yang berwibawa kini jadi berangasan karena bersin yang semakin jadi. Ia menjadi tidak tenang dan kerap salah langkah. Serba salah, para pengikutnya menyimpulkan.

Suatu pagi si bos merutuki semua yang lewat di depannya. Sekretarisnya si Budiwati merasa prihatin dengan kebiasaan baru si bos. Selain membuat panas kuping, semua pegawai yang dirutuk bos langsung angkat kaki dari kantor dan tak pernah kembali. Budiwati, tergerak dengan kepeduliannya terhadap si bos berniat melaksanakan sebuah tugas mulia, menanyakan apa yang terjadi dan mengobati so bos. Berharap semuanya akan berjalan lancar, Budiwati bergerak menuju si bos. Saat hendak menanyakan apa yang terjadi, si bos mulai merutuki wanita yang dua puluh tahun sudah mengabdi di kantor itu.

“Kerja tidak becus minta naik gaji, sukanya protes saja, sekarang mau apa mendekatiku? Mau minta naik gaji? Doa dulu sana tujuh turunan, itupun belum tentu kuberi,” rutuk si bos, cepat, tanpa ampun. Budiwati, yang sudah membulatkan tekadnya, tetap mendekati si bos, meski hatinya tersayat-sayat. Dengan cepat ia mengatakan bahwa kantor menjadi seperti kantor mati karena rutukan si bos yang tidak benar pada para pegawai. Si bos jadi semena mena hanya karena bersin, dan tidak ada yang tahan. Kemudian hening. Si bos bersin lagi, keheningan terpecah, Budiwati pergi dari kantor, selamanya. Tabungannya cukup untuk menghidupi Budi untuk beberapa saat sebelum mencari bos baru yang lebih manusiawi. Ditolehnya ke belakang, si bos memandang kosong ke depan. Entah menahan bersin, entah merenungi ucapan Budiwati.

Esoknya, karena kangen dengan suasana kantor, Budiwati pergi ke penjual sup kepala ikan dekat kantor, tempat para pegawai kerap makan siang. Ia pergi saat jam makan siang, pekerjaan baru belum ia temukan, dengan santai ia memesan satu porsi kepala ikan sebelum mencari tempat duduk. Ia tak terkejut banyak para pegawai yang juga masih makan siang di sana. Selain memang masakannya enak, para pegawai juga mungkin memang kangen dengan suasana kantor. Setelah melepas kangen dengan beberapa pegawai dekat dan menyesap sup kepala ikan dengan lahap, para pegawai mulai berdesas desus.

“Itu si bos katanya kena ‘sakit’ hutan yang mau digusurnya, padahal masyarakat sana sudah wanti-wanti tuh,” ujar Bunga yang memang terkenal biang gosip. Tapi Budiwati cukup kaget karena semua pegawai lain menimpali dengan suara-suara yang mirip.

“Iya tuh, belum lagi tabiatnya merendahkan pegawai, masak dituduh ini itu, ga bener pikiran si bos, kayak belum dewasa aja,” rutuk yang lain. Tahulah Budiwati bahwa bos mereka kena semacam ganjaran karena berniat menerabas hutan suci tempat masyarakat bernaung dan juga bernapas. Ia malah acuh tak acuh dengan peringatan masyarakat yang disampaikan dengan berbagai cara. Juga karena si bos suka meremehkan pegawai. Pernah pula ia menuduhkan berbagai hal ke pegawainya karena kesal didemo masyarakat. Boro-boro disukai pegawai dan rakyat, sekarang pun tidak ada yang mau kerja dengannya, percuma juga punya uang banyak, pikir Budiwati takzim.

Sayup sayup terdengar suara bersin si bos di gedung sebelah. Para pegawai saling berpandangan sambil angkat bahu lalu lanjut makan kerupuk.

By linapw

3 thoughts on “Bersin”

Leave a Reply to rioli Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *